GERAKAN ETNIS CINA di SURABAYA MELAWAN HANDELSVERENIGING AMSTERDAM
(Naskah ini disadur ulang seperti yang diumumkan dalam surat kabar mingguan
“Sunda Berita” no. 16, Th. II,19 Juni 1904, hlm 2-3 sesuai dengan judul aslinya :
Gerakan Bangsa Cina di Surabaya memusuh Handelsverening Amsterdam)
Raden Mas Tirto Adhi Soeryo
Pembaca barangkali sudah tahu tentu tentang lelucon di Surabaya, sehingga penulis tidak perlu bercerita lebih panjang. Pada tahun 1902 beberapa saudagar Cina yang muak dan anti dengan Handelsverening Amsterdam1 (HA) melakukan perlawanan yang disebabkan beberapa hal. Dibawah pimpinan Cho Sik Giok dan Cho Cie An, mereka sepakat untuk melakukan tindakan perlawanan terhadap HA, yaitu melakukan boikot terhadap semua transaksi perdagangan dengan badan dagang kolonial tersebut. Hasil pertemuan ini segera mendapat dukungan sebanyak 80 suara pedagang dari etnis Cina yang segera dikukuhkan perjanjian didepan notaris.
Pada koran mingguan Het Weekblad Voor Indie, dikabarkan bahwa tindakan itu mendapat sambutan hangat dari badan-badan dagang sejenis seperti HA dibenua Eropa, karena dapat menyingkirkan saingan terberatnya. Segera berita ini menjadi pembicaraan hangat yang gaungnya sampai ke daratan Eropa. HA melakukan tindakan preventif agar para pedagang tersebut dapat mencabut aksi boikot mereka, karena akan menyebabkan kerugian yang sangat besar.
HA meminta bantuan beberapa bank menjadi juru damai. Bank-bank tersebut lantas mengirimkan surat kepada kaum pemboikot agar segera menyudahi permusuhan mereka terhadap HA, dengan ancaman surat gadai hutang mereka akan ditolak. Ancaman tersebut malah membuat para pedagang Cina menjadi lebih kukuh pada pendirian mereka. HA minta bantuan pemerintah kolonial melalui Asistant Resident Surabaya yang segera memanggil pemboikot untuk mau berdamai dan menanyakan penyebab perselisihan tersebut tapi tetap ditanggapi dingin para pedagang.
Kehabisan akal, Handelverening Amsterdam memakai jasa pengacara menuntut kepengadilan, tapi tetap dapat dipatahkan. Jalan terakhir, HA mengajak serikat dagang etnis Cina untuk berdamai dengan mengimingi uang ganti rugi sebanyak f 25.000,00 untuk mendirikan sekolah. Permintaan tersebut tetap mendapatkan jawaban tidak dari pedagang yg telah mendapatkan kemenangan mutlak. Seperti kata pepatah : Rukun itu pohon kesentosaan.
Di Batavia berdiri satu dua perusahaan yang menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, yang dipelopori beberapa orang Cina yang sudah mulai menggunakan bahasa Melayu. Para pembaca tentu tahu namanya.2)
Kemenangan itu menjadi sumber inspirasi berharga di berbagai tempat. Orang Cina melakukan aksi perlawanan serupa terhadap Kapten Arab di Betawi bernama Syekh Umar bin Yusuf Manggus. Kapten Arab itu sangat termashyur namanya di Batavia sebagai rajanya para juru lelang. Setiap lelang rumah atau tanah, yang ditangani olehnya selalu berbuah kemenangan, sampai ada orang yang berusaha menyogok dia agar tidak datang ketempat lelang. Suatu waktu Kapten Manggus hendak pergi ke Bogor, di stasiun Gambir ia bertemu dengan seorang Cina yang bertanya “ Tuan hendak mudik ? ”,,,, “ ya ” balas Manggus.
Waktu itu sedang diadakan lelang di Mester3), lantas si penanya menduga Manggus hendak pergi kesana. Orang Cina itu mengatakan agar Kapten Arab itu segera mengurungkan niatnya ketempat lelang dengan menyogok f 200,00. Setelah uang diterima, dia menunjukkan tiket perjalanan ke Bogor. Pedagang Cina itu meresa kecele karena tertipu tapi akhirnya ikhlas karena lelang di Mester bakal menang karena Manggus tidak ikut.
Orang-orang Cina mendirikan perusahaan yang menandingi Manggus, tetapi harus punya modal finansial besar agar tidak rugi tergoda oleh Manggus. Inilah pelajaran berharga dari kasus Surabaya.
Para pembaca pribumi patut memperhatikan, rukun itu pohon kesentosaan. Jika kita anak negeri dapat bersatu seperti etnis Cina maka kita akan mengalami kemajuan yang berarti. Keuntungan yang jauh lebih besar dari etnis Cina bisa didapatkan jika dapat mengambil hikmah dari kerukunan. Bukankan anak negeri punya hak yang sama dengan bangsa asing ? Etnis Cina yang tidak punya hak keleluasaan untuk bergerak dan tinggal, begitu maju karena bersatu !
Tiong Hoa Kwan jangan dikira kecil hasilnya, jangan pula dianggap semuanya dari kalangan berduit. Diantara mereka juga banyak datang dari golongan tidak mampu, tapi begitu royalnya mengeluarkan uang demi kepentingan mereka.
Andai tabiat bangsa kita seperti itu, sehingga bukan hanya ratap dan tangis yang dapat dilakukan kepada negeri, kita harus bermurah hati. Lihatlah berapa sekolahan yang dibiayai pemerintah kolonial, mereka memang bermaksud membatasi memajuan anak negeri.
Negeri melindungi kita sejak dari jaman Brawijaya, jangan hanya berpangku tangan saja. Harus menunjukkan bahwa kita setia dan tahu berterimakasih, seperti memelihara dan menjaga kerukunan satu sama lain. Hal ini membantu keinginan untuk keluar dari kemiskinan dan kemelaratan.4)
Kita priyayi yang menyatakan setia pada negeri, harus mempelopori kerukunan dengan keringat sendiri. Semua priyayi yang besar maupun kecil agar berikrar bersatu dan rukun. Mengerahkan segala kemampuan, pikiran dan energi seperti telaah terhadap segala narasumber baik dari buku atau koran sehingga mengerti pokok permasalahannya5) serta diiringi niat tulus untuk menolong bangsanya.
Para bupati diberbagai daerah telah mencoba mengadakan aksi menghimpun kekuatan dengan berbagai tujuan, tetapi semua seperti angin karena kurang bergaung dan setempat. Sebaiknya perhimpunan-perhimpunan itu bertemu bertukar pikiran6), sehingga faedahnya dapat kita rasakan demikian gaungnya. Sebaiknya punya taman7) dan bermusyawarah mencapai mufakat demi tujuan mulia itu.