Tuesday, July 24, 2007

BIOGRAPI MULTATULI


Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker. Sr, lahir tahun 1820 di Amsterdam. Berasal dari keluarga Protestant sederhana. Dia dikirim ayahnya sekolah pendeta tahun 1832 di Latinje School, tidak selesai kemudian dia mencoba bekerja tapi di-PHK. Ayahnya yang kapten kapal mengantarnya ke Hindia Belanda ketika berusia 18 tahun, bekerja di Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Amtenaar muda ini walau berprestasi dalam kerja, harus meninggalkan pekerjaan karena stress berat diputuskan seorang gadis Catholic, Caroline Versteegh. Sifat royal karena masa kecil yang kekurangan, menjadi penyebab ayah gadis londo itu menolak pinangannya.

Tahun 1842, meminta dipindahkan ke Sumatera Barat yang masih ada pergolakan, dibawah pimpinan Jenderal Michiels, bulan Juli 1842, dia ditempatkan di Natal sebagai kontrolir, jabatan yang menyibukkan dan harus banyak bertemu dengan penduduk setempat. Setahun kemudian dia dipecat Jenderal itu karena administrasi keuangan jebol, di Padang Hulu, dia di tahan rumah-kan, dan dipaksa mengganti kerugian itu. Setahun kemudian dia kembali ke Batavia, tahun berikutnya ditugaskan di gubernemen Kerawang, Bagelan, Menado dan tahun 1851 menjadi asisten residen di Ambon, tapi dia sakit keras kemudian. Dia menikahi Everdine Huberte van Wijnbergen alias Tine.

Tahun 1852 dia kembali ke Belanda untuk cuti pertama, dan memperoleh anak pertama. Sifat borosnya selalu menyebabkan kesulitan baginya. Mei 1855 dia sekeluarga kembali ke Hindia, diterima Gubernur Jenderal Duymer van Twist, ditugaskan ke Lebak, Banten, sebagai asisten residen. Dia sangat mencintai bumiputera. Setelah cukup adaptasi dengan Rangkas Bitung, dia mulai membongkar kasus-kasus juga menemukan banyak kesewenangan dan penindasan dari Bupati, Demang (menantu bupati). Ternyata pejabat sebelumnya juga tertendang karena mencoba membongkar kasus itu. Kesulitan menemukan bukti-bukti yang bisa membongkar kasus itu. Ketika tanam paksa telah berlaku diseluruh Hindia Belanda. Dalam sistem pemerintahan ketika itu, residen hanya sebagai atasan para menak, namun tidak punya akses ke masyarakat.

Bupati Lebak Raden Adipati Karta Nata Nagara bersama menantunya, Demang Parangkujang sangat sewenang-wenang, sampai untuk membersihkan pekarangan kediaman mereka saja mengambil penduduk dari berbagai desa, sementara pemerintahan kolonial sangat keberatan karena jumlah pekerja itu dibutuhkan untuk tanam paksa. Hal ini dilaporkan ke atasannya Residen Brest van Kempen, yang kemudian diteruskan ke Gubernur Jenderal. Apa dinyana, dia malah ditegur dan dianggap tidak becus. Multatuli sangat marah karena reaksi yang tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya, Dia mengajukan pengunduran diri, dan diluluskan. Setelah dia pergi, kasus di bongkar dan semua kaki tangan penindas dari bupati diberhentikan dengan tidak hormat. Orang jujur ini sangat mencintai keadilan walau dia juga seorang boros.

Sebenarnya kasus tersingkirnya Multatuli adalah akibat dari sistem dualisme kekuasaan antara bupati dengan residen, penggantian seorang bupati dapat menimbulkan gejolak baru, sementara itu pemerintah Hindia sedang mengalami defisit keuangan karena perang melelahkan dengan Pangeran Diponegoro dan kaum paderi. Sementara menurut tata pemerintahan dan pergaulan di Lebak kala itu, cara Multatuli memulangkan pekerja-pekerja yang membersihkan pekarangan rumah bupati dianggap kurang ajar oleh norma-norma di Jawa.

April 1857, Dekker sendiri kembali ke Eropa, tahun 1859 keluarganya menyusul. Di suatu losmen di Brussel, dia menuliskan kasus itu kedalam sebuah buku, sebagai protes, Max Havelaar (Aku telah banyak menderita). Dwi fungsi dari buku itu adalah untuk diakhirinya pemerasan dan dikembalikan kehormatan rakyat jelata di Jawa; dan nama baiknya dipulihkan.

Penerbit yang sangat terkenal kala itu Jacob van Lennep telah menduga buku itu adalah sebuah mahakarya, tapi disimpan dan diterbitkan pelan karena takut mengguncang, makanya semua nama tempat, angka tahun diganti dengan tanda baca titik-titik. Mei 1860 buku ini menjadi best- seller di Eropa walau lambat diterima masyarakat disana. Dia yang telah menjadi pujangga besar, kemudian mengeluarkan buku lain seperti Minnebrieven (surat-surat cinta); Wouterje Pieterse ( sejarah masa kecil) dan Ideen.

Dalam Ideen, Multatuli bersuara keras: melawan kesewenang-wenangan; pembelaan terhadap kaum teraniaya; kritik keras terhadap kekuasaan agama, adat dan politik, yang sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Dekker membela buruh industri, mempertanyakan dogma agama yang disetir, emansipasi kaum wanita dan adat kesopanan yang dibungkus dengan keindahan tapi busuk didalamnya. Bagi Multatuli, martabat manusia harus sama, “ panggilan manusia ialah mewujudkan sebagai manusia”.

Dia tidak akrab dengan keluarganya, sampai istrinya Tine wafat tahun 1874, kemudian dia menikah lagi dan tinggal di Nieder-Ingelheim, Jerman dan wafat disana 18 Februari 1887.

Orang ini banyak menggunakan keuangan pemerintahan kolonial di Natal dan Padang untuk membantu bumiputera. Menyumbang dana juga dari kantung pribadi untuk kemajuan pendidikan di madrasah dan pesantren. Dekker banyak membantu perselisihan dan persengketaan antar pribumi dengan sesama pribumi, pedagang/saudagar bangsa lain dan pemerintah kolonial. Tentu saja pucuk pimpinan sangat berang dengan cara yang dilakukan oleh Multatuli. Keterpihakannya kepada bumiputera menjadi bumerang yang menghancurkan karir gemilangnya di pemerintahan kolonial Belanda.

Sedikit tidaknya jasa Multatuli, beberapa pihak dimasa silam yang tersamar, menganggap kegemilangan idenya, membantu menjadikan ranah Minangkabau dan Mandailing, pemasok tokoh-tokoh perintis dan penggerak berkaliber hebat, yang kelak sangat menentukan nasib Hindia Belanda. Bisa disebutkan nama-nama seperti: Kyai Hai Ahmad Dahlan, Agus Salim dll yang diteruskan generasi Datoek Tan Malaka dsb kemudian lahir lagi angkatan Moehammad Hatta, Soetan Syahrir, Moehammad Yamin, Mr. Moh. Roem, Syarifoeddin Prawiranegara, Soetan Takdir Alisjhabana, HB Yassin dll. Mereka ini adalah 'buah' dari 'biji' yang ditabur oleh Multatuli. Ini merupakan benang merah yang selalu dicoba dihilangkan dan dilupakan. Mungkin karena Mutatuli bukan orang Indonesia asli, bukan Muslim dan mewakili kaum penjajah.

Sistem kerja tanam paksa (Culturstelsel) yang kala itu diberlakukan, terang-terangan dibencinya. Sistem tanam paksa adalah pemerasan yang terkeji dari penjajah kepada bumiputera dengan memaksakan tiap orang untuk menanamkan beberapa jenis tanaman komoditas, yang kala itu sangat tinggi sekali harganya di pasar dunia. Komoditas ini antara lain: kopi, teh, cengkeh, pala, tembakau, kakao dsb. Setiap pribumi Hindia Belanda diwajibkan untuk menyediakan sebagian lahannya menanam komoditas tersebut atau menjadi buruh kerja di lahan yang disediakan oleh kolonial. Setelah itu, bumiputera baru dipersilahkan mengurusi perut sendiri. Sistem ini dianggap penghisapan yang paling keji, dan sangat tidak ber-perikemanusian dari bangsa yang merasa paling beradab dan mengaku mengikuti cinta-kasih Kristus.

Melalui bukunya Max Havelaar, Multatuli membongkar perilaku busuk penjajah Belanda di muka umum. Bola liar yang dilemparkan Multatuli melalui Max Havelaar, kelak merubah cara pandang penjajah Belanda pada khususnya dan dunia pada umumnya terhadap bumiputera. Pemerintah kerajaan Belanda sangat tertampar dengan perang pena ini. Bumiputera tidak lagi dianggap sebagai kasta yang lebih rendah dari binatang di negerinya sendiri. Efek dari bola liar yang dilempar oleh Multatuli juga dirasakan oleh negara-negara lain yang terjajah, seperti di Asia dan Afrika. Di Afrika Selatan lahir kaum de Boer.

Kelak lahirlah suatu aksi balas budi yang dicetuskan di Belanda, kelak dinamakan Politik Etis. Kaum bumiputera diberikan kesempatan, walau awalnya dari kaum menak dan berduit, untuk merasakan pendidikan. Tapi bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada Multatuli atas jasanya ini. Karena dengan dibukanya keran itu, lahirlah kelak tokoh-tokoh hebat yang menjadi pelopor; Setelah dibukanya sekolah dokter STOVIA, antara lain: Dr. Wahidin Soediro Hoesodo, dr. Goenawan, R.A Kartini, R.M. Tirto Adhi Soeryo, Cipto Mangoenkoesoemo, H.O.S. Cokroaminoto, Haji Samanhoedi, Ki Hajar Dewantoro, Dewi Sartika, Iwa Koeseoma Soemantri dll. Dari pelopor ini lahir lagi tokoh-tokoh lainnya yang tak kalah dahsyatnya seperti : Ir. Soekarno, Sartono, Siti Soendari R.D, Mr Soepomo dll.

Diseluruh kota-kota di pulau Jawa atau Sumatera dan pulau-pulau lainnya, jarang sekali kita temukan nama jalan yang diambil dari nama besarnya. Bahkan nama gedung atau tempat prestisius bangsa Indonesia tidak ada yang memakai nama Multatuli, jasanya terkesan dilupakan dan hilang perlahan. Di Bandung ada nama jalan dr. Sethiaboedi, nama yang diambil dari putranya Multatuli. Nama yang digunakan putranya sebagai nama baptis baru setelah memilih jadi bumiputera. Selayaknya, namanya diletakkan disuatu tempat terhormat, untuk mengenang nama Multaltuli, agar generasi yang akan datang tahu, bahwa sebenarnya Indonesia adalah bangsa yang tahu cara berterima kasih, walau telah terlambat. Edward Douwes Dekker Sr, alias Multatuli wajar mendapat bintang jasa dari pemerintah Indonesia, walau dia 'orang asing', tapi dalam darah, hati dan tulangnya...ada Indonesia, semoga...Amien!