Sunday, June 24, 2007

Dono, Komandan …embueerr!



Dono, Komandan …embueerr!
Ketika itu, Jakarta telah ditetapkan Siaga Satu. Serdadu menenteng senjata lalu lalang didepan kampus Trisakti Grogol. Menggunakan senjata lengkap, seperti film Hollywood. Serdadu muda dengan sigap melompat turun dari truk dengan semangat perang membara dan segera menyusun formasi bintang. Ga ketinggalan pasukan yang menggunakan motor dan panser. Perang ?
Maret sebelumnya, wakil rakyat dibawah Harmoko bertepuk serentak dengan koor membahana mengatakan, “ SETUJU ”! Mereka setuju Jenderal Besar Soeharto kembali menjadi presiden untuk kesekian kalinya. Semua tahu prestasinya, namun terlalu “mahal” kita membayarnya. Krisis moneter membuktikan kerapuhan prestasi Bapak Pembangunan. Tenda biru mau dikibulin ma Janur Kuning. Kelakuan Soeharto sekeluarga dan kroni sudah keterlaluan.
Ketika itu aku akan UAS. Harus memilih antara mengikuti kata hati atau kuliahku! Semester sebelumnya aku dijurang nasakom. Kaga takut coi, masih banyak teman yang lebih parah dan masih banyak….kesepian ! 2 bulan sebelumnya aku diputusin 2 cewe dalam waktu yang berdekatan. Wes kagok edan rek!
Aku sering memutuskan dalam waktu maks 5 menit. Saat paling sulit karena terjadi pertempuran hebat dibatinku. Antara kesiapan dan pengorbanan.
Malamnya Bapakku nelepon dan aku mengatakan tentang rencana itu. Malam itu aku benar-benar disemprot habis. Tapi janji aku akan tetap ikut UAS. Pendapat yang sering kuperoleh dari beberapa pihak,” Justru kalau Soeharto jatuh situasi semakin parah. Lebih baik dia saja, ada stabilitas dan suasana aman…”. Mereka menikmati hasil “karya” Soeharto tapi nggak haram jadahlah. Masih sulit menerima perubahan, apa lagi judulnya REFORMASI!
Mama hanya menyesalkanku yang menyia-nyiakan berkah-berkah langka. Berkali-kali mereka kukecewakan. Lulus SMA, aku diterima disemua tempat yang aku coba tapi terpaksa kutinggal karena peristiwa 27 July. Setiap berkah yang tidak dihiraukan akan berubah menjadi kutuk. Kita takut kehilangan milik dan hidup kita. Tapi rasa takut ini menguap begitu kita memahami bahwa kisah kita dan sejarah hebat dunia ditulis oleh Tangan Yang Sama. Sebenarnya aku menyesal ketika itu sering memutuskan sesuatu instan. Lebih sedih lagi melihat tatapan mata kekecewaan di keluargaku. Somehow, and someday I will! Kalau aku memulai dengan menjanjikan sesuatu yang belum aku miliki, aku akan kehilangan hasrat untuk berusaha memperolehnya.
Semakin dekat seseorang dalam mewujudkan takdirnya semakin takdir itu menjadi alasan keberadaannya. Aku ke Jakarta sekitar tanggal 6-10 Mei 1998. Orang-orang ketika itu masih takut menunjukkan kekesalan atas terpilih kembalinya Soharto. Aku ke Salemba menemui kontak lama kemudian ke Trisakti.
Teman itu heran,” Bagaimana lu bisa selamat dari kantor PDI Diponegoro? Bagaimana caranya lolos dari gempuran hebat batu & molotov oleh orang suruhan berlaras Ceko dengan rambut cepak tegap atletis ? Bagaimana juga ente bisa lolos dari kejaran bambu runcing Pam Swakarsa ?” Sulit menjawabnya karena sebenarnya dah kukubur. Yang pasti, Tuhan lewat cara ajaib-Nya akan selalu ada didekat orang yang berniat baik.
Sempat hening banyak yang berdoa; tidak sedikit pula yang cengeng nangis, cowo lagi (aku ga loh, Sumpah!). Temanku yang lain anak Trisakti menawarkan jaket biru kebanggaan mereka untuk kupakai. Apaan sih! Harus dibedakan mana malaikat dan mana setan. Jadi kuikat dipinggang aja. Karena kadang aku adalah keduanya, hi…hi…hi! Aku tetap setia kekampusku yang adem gemah ripah itu.
Ternyata ada orang beken jek! Wahyu Sardono, dosen Fakultas Sastra UI yang kita kenal Dono WARKOP. Wajah bersahabat karena semua film-filmnya telah kusikat. Beliau menghampiri (bukan dihampiri seperti yang lain) menjabat tangan kami. Pede buanget lah, muka bhaduak, sok akrab pula! Beliau ini langsung akrab dengan kami yang ketika itu “gerah” dengan provokasi pasukan anti demonstransi. Kehadiran beliau membesarkan hati. Dia ada disebelah kami ketika senjata itu telah mulai ditembakkan. Dia juga ikut tunggang langgang berlari bersembunyi menghindari arah peluru itu. Tuhan melalui pesuruhnya akan selalu ada didekat orang-orang yang hendak mewujudkan takdirnya.
Safrie Syamsudin, Pangdam Jaya (sekarang Sekjen Dept. Pertahanan RI) diperintah bukan saja mematahkan tapi membasmi. Aku emosi banget karena tidak adil. Aksi damai dibalas tembakan senjata tajam.
Akhirnya kami menyadari bahwa diam pasrah itu tidaklah emas! Cara yang beda dipilih ibu Mega! Masa sih mati konyol? Aku usul ma bang Dono agar menggunakan hydrant pemadam kebakaran yang ada disekitar kampus Grogol. Entah siapa yang nyeletuk ada selang besar dan kunci untuk membuka. Dibawa perintah Komandan Dono, kami mulai membuka dan menyambungkan selang-selang itu. Setelah aba-aba dari Panglima Dono, krannya mulai dinyalakan. Sebelumnya memang kami memaksa untuk turun ke jalan!
Serdadu kaget dengan balasan kami. Banyak yang terpental dan jatuh bangun ampe basah kuyub. Yang namanya laki, tetap aja pernah kecil, ada juga perang sesama kami dengan siram-siraman. Panglima Jenderal Besar Dono sangat kecewa sampai ambil ember untuk dijadikan helm. Dasar memang pelawak, tetap aja lucu buanget, padahal dia itu lagi serius banget loh.
Sayangnya ga kepikiran tuk motret. Maklum jek, masih pada kere atau belum ada hp atau kamera digital ! Gagah mampus tuh Panglima kami! Walau menggunakan helm ember, ha…ha…ha! Akhirnya kami ikutan menggunakan ember. Bayangin, sudah ditembaki masih sempat-sempatnya balas. Trus buat perang sendiri segala. Ketika itu tentara ikut terpingkal-pingkil sambil megangin kereb.
Malemnya aku menelepon ke Bandung, cees bilang besok siang UAS Hidrolika II. Sayang, aku harus pulang untuk ujian juga janjiku sama mama. Kisah itupun selesai dan aku kaga ketemu lagi dengan Jenderal Dono. Beberapa tahun kemudian aku baca koran, beliau kena kanker dan kemudian wafat. Di bis pulang, aku mendengar lagu, ”…darah muda darahnya para remaja…biasanya…berpikinya sekali saja…tanpa memikirkan akibatnya…”
2 hari kemudian terjadi penembakan di Trisakti ! Tanggal 12(?) magrib aku berada di Gedung rakyat di Senayan. Aku ikut rombongan pertama dari FORKOT. Rombongan pertama yang militan menembus barikade berlapis militer. Kali ini menggunakan warisan leluhur; tak hajar hancur siapa aja yang menghalangi, peduli marinir, PHH, Kopasus, Paskhas atau apa ajalah. Bila perlu Soeharto, Wiranto juga Prabowo sekalian!
Selamat Jalan teman-teman, yang mungkin juga adalah “pasukan” Komandan Dono! So pasti, selamat jalan Dan!
“…Setiap orang punya cara masing-masing mempelajari sesuatu dan mencarinya, dan kita seharusnya menghormati cara yang telah dipilih orang lain…” ( The Alchemist).

No comments: