Tan Malaka: Cerita yang belum selesai
“…Bangun(kan)lah jiwanya…bangun(kan)lah badannya, untuk Indonesia Raya…”
Legenda revolusioner misterius ini adalah keturunan keluarga bangsawan Pagaruyung, bernama kecil Datuk Sutan Ibrahim, setelah dewasa lebih dikenal dengan gelar Datuk Tan Malaka, lahir 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat. Tokoh ini seperti dengan banyak anak lainnya yang lahir dari darah biru, menghabiskan masa remajanya di bangku pesantren berguru agama kepada para ulama-ulama mumpuni dan syekh-syekh top dinegerinya Tuanku Imam Bonjol. Tokoh yang keras kemauannya, tulus, bersih jiwanya, jujur, bisa membedakan antara agama dan negara, dimana kadar keimannya sangat dipuji T.B. Simatupang (pakar perang gerilya Indonesia, pahlawan dan teolog Kristen).
Tokoh ini begitu berbahayanya kah hingga banyak sekali negara-negara yang mencekalnya dan mengejar-ngejar untuk di tahan bahkan dibunuh jika sulit menangkap? Sejumlah tokoh besar seperti: Lenin, Stalin, Trotsky, Chiang Kai Sek, sampai Mao Tsu Teng menganggap tokoh ini adalah orang paling berbahaya dan terlarang! Tan Malaka dilarang memasuki Prancis, Sovyet, Baltik, Balkan, Britania, China Daratan apalagi Belanda. Tokoh ini ada guru imajiner buat Ho Chi Minh (bapak bangsa Vietnam), Aung San (ayah dari Aung San Syu Ki) dan Joseph B. Tito (bapak bangsa Yugoslavia, yang sudah sejarah) dll.
Tan Malaka ‘belajar’ dibawah kharismatik legenda yang juga “dihilangkan” dari sejarah bangsa, R.M Tirto Adhi Soeryo. Awalnya adalah SP, SDI kemudian menjadi SI terus pecah dan salah satunya PKI. Ia ‘dibesarkan’ dalam suasana semangat gerakan modern Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tahun 1913 belajar ke Belanda, penyesalan bagi Belanda, karena merasa “membesarkan” anak harimau. Tahun 1919 kembali ke Indonesia bekerja sebagai guru di Deli. Ketimpangan sosial di lingkungan perkebunan antara buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda. Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Pemuda cerdas ini banyak berdiskusi dengan Semaoen mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda, juga merencanakan suatu pengorganisasian bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem kader, gerakan-gerakan aksi, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang hingga mengambil tindakan tegas. Tan Malaka berniat mendirikan sekolah bagi anak-anak anggota SI untuk kaderisasi:
Mengajarkan berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda/ Melayu/ Jawa.
Memberikan kebebasan kepada murid mengikuti kegemaran dalam bentuk organisasi.
Memperbaiki nasib kaum miskin.
Harus dimaklumi ketika itu mayoritas penduduk Hindia Belanda adalah petani, buruh kasar dan kaum sub-marjinal lainnya. Jumlah mereka mencapai 98%, bayangkan! Keadaan penduduk disepanjang gugus kepulauan Nusantara adalah sangat miskin sekali. Jadi harus dimengerti kenapa sosialis-komunis ketika itu lebih mudah diterima kebanyakan rakyat, mengalahkan Islam. Karena ketika itu boro-boro memikirkan agama, untuk makan sehari-hari saja sulitnya minta ampun. Sosialis-komunis menawarkan sesuatu yang dianggap tabu kala itu, persuatif yang mengatakan bahwa di dunia ini semua orang berada diposisi yang sama. Agama Islam ketika itu, baru bangkit setelah sebelumnya selalu “didikte” pihak kerajaan-kerajaan di hindia. Bayangkan Hamengku Buwono kalau diartikan adalah pemegang kekuasaan tertinggi di dunia setelah Gusti Allah! Artikan sendiri nama panjang dari raja-raja Jawa! Sementara raja-raja Jawa setelah eranya Sultan Agung selalu keok jika berhadapan dengan penjajah Belanda. Jika Hamengku Buwono saja yang pemangku kekuasaan tertinggi di dunia ini di bawah kendali Resident. Berarti apa posisi Gubernur Jenderal? Lebih tinggi dari Tuhan itu sendiri? Terus masih ada lagi Ratu Belanda Wilhelmina. Bualan sejarah tua yang masih sisa-sisa Hinduisme, feodal, egois dsb. Sosialis-komunis membuka mata mereka yang telah turun-temurun di doktrin dan menjadi sebuah dogma dan mendarah daging!
Bergabung dengan kaum sosialis komunis karena merasa kaum feodal dan aristokrat yang seharusnya mengambil peranan, justru memancing diair keruh. Sikap yang sama diambil Ki Hajar Dewantara, cucu Sri Sultan Hamengku Buwono V, “membuang” semua hak atas prestise dan privilege-nya.
Wewenang Tan Malaka di kepartaian komunis dunia sangat jelas: memberi usulan; mengkritik; veto atas aksi-aksi partai komunis didunia; pengawasan AD/ART; menjalankan program dan taktik Komunis Internasional dan Profintern yang telah ditentukan kongres kaum komunis dunia. Seorang pemimpin muda yang memikul tanggung jawab sangat berat dipundaknya. Tan Malaka memisahkan diri dari PKI dibawah trio kwek-kwek: Sardjono-Alimin-Musso. Januari 1922 ditangkap dan dibuang ke Kupang. Pemberontakan 1926, berakibat “bunuh diri” bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Dalam waktu singkat Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan, ada yang disiksa, dibunuh dan dibuang ke Boven Digoel, Papua. Perjuangan nasional mendapat “pukulan” sangat berat dan mengalami kemunduran besar selama bertahun, yang kemudian diteruskan “adik seperguruan murtad”, Soekarno. Tan Malaka ketika itu di Bangkok, bersama dengan: Soebakat dan Djamaludddin Tamin. Juni 1925 Tan Malaka menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia menunjukkannya kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hongkong, April 1925.
Prof.Moh.Yamin, dalam karya tulisnya Tan Malaka Bapak Republik Indonesia berkomentar,"…Tak ubahnya Jefferson, Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….". Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari kondisi rakyat Indonesia; situasi dan kondisi Nusantara; kebudayaan; sejarah; diakhiri dengan bagaimana memecahkan masalahnya. Orang inilah sebenarnya pencetus apa yang kita kenal sekarang, REPUBLIK INDONESIA.
3 Juli 1946 Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan ditangkap kemudian di penjara tanpa diadili selama 2 setengah tahun. Setelah pemberontakan PKI Madiun, September 1948 dipimpin Musso dan Amir Syarifuddin; Tan Malaka dikeluarkan dari penjara oleh perintah langsung Panglima Besar Soedirman. Soedirman sadar siapa yang dijebloskan kepenjara itu, The real fugitive in world tapi bunga rampai negerinya. Soedirman kemudian atas pengambilan keputusan itu sempat “terguncang” nama besarnya tapi mantan guru Muhammadyah ini tahu, tahanan politik itu juga murid langsung K.H Ahmad Dahlan, pendiri Muhammdyah. Tan Malaka membentuk Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Februari 1949, Tan Malaka hilang tidak tentu rimbanya, mati tidak tahu kuburannya di tengah-tengah perjuangan di Pethok, Kediri, Jawa Timur, kabarnya dieksekusi, mungkin juga mayatnya dimutilasi terus dikirimkan kesejumlah penjuru, seperti William Wallace, a noble Scottish warrior dalam Brave Heart. Setelah itu ada peristiwa-peristiwa penting yang menjelaskan atas apa yang terjadi karena “pembunuhan” itu.
Soedirman perlahan mulai “menjauhi” Soekarno-Hatta, wafat dengan penyakit TBC. Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. T.B Simatupang mundur sebagai KSAP-RI (sekarang Panglima TNI), Sutan Syahrir dipaksa turun dan meninggal dipengasingan. Amir Syarifudin mengalami from hero to zero, dieksekusi mati karena peristiwa Madiun. Syarifudin Prawiranegara kelak terhina dengan gelar pemberontak padahal dia adalah Presiden Republik Darurat Indonesia. A.H Nasution dan Soeharto semakin berkibar namanya. A. H Nasution “dicekal” selama 32 tahun sampai Habibie menjadi Presiden. Soekarno yang tigaperempat masa hidupnya diabdikan untuk bangsanya turun dengan terhina. Soeharto dimasa tuanya dicaci-maki dan dianggap aib besar negeri. Seorang sumber yang telah wafat, berkata Soekarno “bertengkar hebat” dengan Bung Hatta atas ‘pembunuhan’ Tan Malaka dan sejak itu dwi tunggal mulai terindikasi pecah. Sumber ini menambahkan Bung Hatta melakukan sembayang gaib cukup lama persis setelah mendengar berita itu sambil menitikkan air mata, kemudian menemui Soekarno dan Syahrir untuk memaki-maki mereka. Soekarno “merasa” bersalah dan menangis didepan Bung Hatta. Ketika Bung Hatta masih sekolah di Rotterdam, Tan Malaka adalah “pelindung” pelajar Indonesia disana dan telah menjadi buronan international, telah menjadi mitos. Tokoh ini empat perlima masa hidupnya adalah untuk tanah airnya, bahkan membujang sampai mati, semua itu untuk sesuatu yang diyakininya, Fantastic! Soekarno tiga perempat, Tan Malaka empat perlima, mana yang lebih besar?
Tokoh ini kisah hidupnya dijadikan roman picisan yang sangat terkenal saat itu. Karangan ini muncul sebagai serial di harian Pewarta Deli edisi 9, 9 Juli-19 September 1934 di Medan. Sambutan sangat baik dari pembaca, hingga tahun 1938 diterbitkan buku oleh Centrale Courant en Boekhandel (Toko Buku dan Surat Kabar Sentral) di Medan.
Berkisah tentang petualangan Vichitra yang dikenal sebagai Pacar Merah Indonesia, aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dari kolonialisme. Terpaksa melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buron polisi rahasia internasional, dibantu Ninon Phao, putri kepala polisi rahasia Thailand, Khun Phra Phao, bersembunyi di Senggora, Thailand. Untuk menghindari penangkapan reserse dia berpindah-pindah dari Singapura, Filipina, Kamboja, Hongkong, hingga China. Meski buronan, Pacar Merah membuka Konferensi Pertama Pan Malay Peoples Union; Keynote speaker di Konferensi Buruh Pasifik di China; Di Kamboja dituduh ‘mengompori’ pemberontakan kaum radikal terhadap kolonial Perancis.
Kisah petualangan ini juga dibumbui roman percintaan antara Pacar Merah dengan Ninon Phao. Nona ini jatuh hati kepada Pacar Merah dan ingin mengikutinya kemanapun. Demi perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan tanah airnya dan keselamatan nona itu sendiri, dia “menolak halus” cinta Ninon dan menganggapnya seperti adik sendiri. Matu Mona sang penulis, redaktur Pewarta Deli, mengaku mendapat bahan dari 5 pucuk surat Tan Malaka kepada Adinegoro, Pemimpin Redaksi Pewarta Deli.
“…Sebuah pencarian dari setiap perjalanan, membuktikan bahwa alam bawah sadar berperan penting dalam kelangsungan hidup!…bergelap-gelaplah dalam terang, berterang-teranglah dalam gelap…!”
TAN MALAKA)
Berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 53/ 28/Maret/1963, yang ditandatangani Presiden Soekarno menetapkan bahwa, Tan Malaka adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Bandung, February 27th, 2005
Bobby
Sejarah itu harus ditempatkan ditempat yang sejatinya, demikian juga dengan pelaku-pelakunya harus diperlakukan dengan semestinya juga. Generasi setelah kita akan melihat apa yang telah kita perbuat terhadap orang-orang yang telah mengubah nasib bangsa yang menjadi budak terhina dan terrendah dinegerinya sendiri, yang sangat kaya raya dan kelak menjadi pemilik karunia tidak terkirakan dari Tuhan. Semua luka harus disembuhkan dan aib harus diungkapkan agar ada koreksi. Mumpung ada momennya, sebelum semuanya terlambat dan basi(MHS)!
No comments:
Post a Comment