Sunday, August 5, 2007

SEKUntUm bUnga ranUm



PUSPa inDAh bErDaUn TiPiS

MULUS Dan harUm, SEPErti nYa
HiJaU DiKELiLingi mErah, tErUS PUTih
SinaraN POLOS SUCi Di baWah
SEtiap Warna aDa Di 5 hELai
ShiLOUttE mEmbEri Citra EmaS Di tEpi

KEmbang Yang LEpaS Dari tangKai
TErbaWa angin KarEna aLaM ?
MUngKiN tangKaI taK SanggUp
BanYaK KEmUngKinan

LiriKan SUrYa mEnaMbah aUra
MEmBEntUK baYangan DiDEpan
BaYangan Yang LEBih bESar
BaYangan gELaP, Di SEKitar
AKan KaH inDah tErUS ?
Di mana Dia bEr aKhir ?
Di mana aKan LaYU ?
AtaU mEnJADi DEbU ?

DIALOG 2 WARNA


PAPARAN TEMANKU (DIAMBIL DARI TULISAN PAPA NYA)
PADA tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat dalam rangka kunjungan resminya ke negeri tersebut. Sebagaimana dilaporkan dalam halaman pertama New York Times pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih Soekarno menyerang kolonialisme. Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,” kata Bung Karno, “telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad.” Tetapi, tambahnya, perjuangan itu masih belum selesai. “Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno di depan para pendengarnya.
Menarik untuk disimak bahwa meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Namun, lebih menarik lagi karena pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, kuatnya semangat antikolonialisme dalam pidato itu bukanlah merupakan hal baru bagi Bung Karno. Bahkan sejak masa mudanya, terutama pada periode tahun 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas tampak. Bisa dikatakan bahwa sikap antikolonialisme dan anti-imperialisme Soekarno pada tahun 1950-an dan selanjutnya hanyalah merupakan kelanjutan dari pemikiran-pemikiran dia waktu muda. Tulisan berikut dimaksudkan untuk secara singkat melihat pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme-dan selanjutnya elitisme-serta bagaimana relevansinya untuk sekarang. Antikolonialisme dan anti-imperialisme Salah satu tulisan pokok yang biasanya diacu untuk menunjukkan sikap dan pemikiran Soekarno muda dalam menentang kolonialisme adalah tulisannya yang terkenal yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme“. Dalam tulisan yang aslinya dimuat secara berseri di jurnal Indonesia Muda tahun 1926 itu, sikap antikolonialisme tersebut tampak jelas sekali. Menurut Soekarno, yang pertama-tama perlu disadari adalah bahwa alasan utama kenapa para kolonialis Eropa datang ke Asia bukanlah untuk menjalankan suatu kewajiban luhur tertentu. Mereka datang terutama “untuk mengisi perutnya yang keroncong belaka.” Artinya, motivasi pokok dari kolonialisme itu adalah ekonomi. Sebagai sistem yang motivasi utamanya adalah ekonomi, Soekarno percaya, kolonialisme erat terkait dengan kapitalisme, yakni suatu sistem ekonomi yang dikelola oleh sekelompok kecil pemilik modal yang tujuan pokoknya adalah memaksimalKAN keuntungan. Dalam upaya memaksimalisasi keuntungan itu, kaum kapitalis tak segan-segan untuk mengeksploitasi orang lain. Melalui kolonialisme para kapitalis Eropa memeras tenaga dan kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. Melalui kolonialisme inilah di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, kapitalisme mendorong terjadinya apa yang ia sebut sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau eksploitasi manusia oleh manusia lain. Soekarno muda menentang kolonialisme dan kapitalisme itu. Keduanya melahirkan struktur masyarakat yang eksploitatif. Tiada pilihan lain baginya selain berjuang untuk secara politis menentang keduanya, bahkan jika hal itu menggelisahkan profesornya. Pada suatu pagi di awal tahun 1923, sebagai seorang mahasiswa Soekarno dipanggil untuk menghadap Rektor Technische Hoge School waktu itu (THS), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Profesor Klopper. Kepada mahasiswanya, sang profesor mengatakan, “Kamu harus berjanji bahwa sejak sekarang kamu tak akan lagi ikut-ikutan dengan gerakan politik.” “Tuan,” jawab Soekarno, “Saya berjanji untuk tidak akan mengabaikan kuliah-kuliah yang Tuan berikan di sekolah. Bukan itu yang sama minta,” sanggah si profesor. “Tetapi hanya itu yang bisa saya janjikan, Profesor,” jawab Soekarno lagi. Sebagai suatu sistem yang eksploitatif, kapitalisme itu mendorong imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Tetapi Soekarno muda tak ingin menyamakan begitu saja imperialisme dengan pemerintah kolonial. Imperialisme, menurut dia, “bukanlah pegawai pemerintah; ia bukanlah suatu pemerintahan; ia bukan kekuasaan; ia bukanlah pribadi atau organisasi apa pun.” Sebaliknya, ia adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan negara orang lain. Lebih dari sekadar suatu institusi, imperialisme merupakan “kumpulan dari kekuatan-kekuatan yang kelihatan maupun tak kelihatan.” Soekarno mengibaratkan imperialisme sebagai “Nyai Blorong” alias ular naga. Kepala naga itu, menurut dia, berada di Asia dan sibuk menyerap kekayaan alam negara-negara terjajah. Sementara itu tubuh dan ekor naga itu ada di Eropa, menikmati hasil serapan tersebut. Bersama dengan kolonialisme dan kapitalisme, imperialisme merupakan tantangan besar bagi setiap orang Indonesia yang menghendaki kemerdekaan. Anti-elitisme Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno muda ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka. Soekarno muda melihat bahwa kecenderungan elitisme itu tercermin kuat dalam struktur bahasa Jawa yang dengan pola “kromo” dan “ngoko“-nya mendukung adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya atas stratifikasi demikian itu, dalam rapat tahunan Jong Java di Surabaya pada bulan Februari 1921, Soekarno berpidato dalam bahasa Jawa ngoko, dengan akibat bahwa ia menimbulkan keributan dan ditegur oleh ketua panitia. Upaya Soekarno yang jauh lebih besar dalam rangka menentang elitisme dan meninggikan harkat rakyat kecil di dalam proses perjuangan kemerdekaan tentu saja adalah pencetusan gagasan marhaenisme. Bertolak dari pertemuan pribadinya dengan petani Marhaen, Soekarno merasa terpanggil untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada kaum miskin di Indonesia, serta kepada peranan mereka dalam perjuangan melawan kolonialisme yang kapitalistik itu. Kaum Marhaen ini, sebagaimana kaum proletar dalam gagasan Karl Marx, diharapkan akan menjadi komponen utama dalam revolusi melawan kolonialisme dan dalam menciptakan suatu tatanan masyarakat baru yang lebih adil. Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme “menolak tiap tindak borjuisme” yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi, akan mampu mengubah dunia.“ Kompleks Lantas, langkah-langkah apa yang diusulkan oleh Soekarno untuk melawan kolonialisme, imperialisme serta elitisme itu? Pertama-tama ia mengusulkan ditempuhnya jalan non-kooperasi. Bahkan sejak tahun 1923 Soekarno sudah mulai mengambil langkah nonkooperasi itu, yakni ketika ia sama sekali menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. Dalam kaitan dengan ini ia kembali mengingatkan bahwa motivasi utama kolonialisme oleh orang Eropa adalah motivasi ekonomi. Oleh karena itu mereka tak akan dengan sukarela melepaskan koloninya. “Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya,” kata Soekarno, “jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya.” Oleh karena itu pula ia yakin bahwa kemerdekaan tidak boleh hanya ditunggu, melainkan harus diperjuangkan. Langkah lain yang menurut Soekarno perlu segera diambil dalam menentang kolonialisme dan imperialisme itu adalah menggalang persatuan di antara para aktivis pergerakan. Dalam serial tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme ia menyatakan bahwa sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan itu tiga kelompok utama dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia-yakni para pejuang Nasionalis, Islam dan Marxis-hendaknya bersatu. Dalam persatuan itu nanti mereka akan mampu bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan Indonesia. “Bahtera yang akan membawa kita kepada Indonesia Merdeka,” ingat Soekarno, “adalah Bahtera Persatuan.“ Pada saat yang sama Soekarno juga mengingatkan bahwa perjuangan melawan kolonialisme itu lebih kompleks daripada perjuangan antara kelompok pribumi melawan kelompok kulit putih. Pada satu sisi perlu dibedakan antara “pihak Sini” yakni mereka yang mendukung, dan “pihak Sana” yakni mereka yang menentang perjuangan kemerdekaan. Pada sisi lain perlu disadari pula bahwa kedua “pihak” itu ada baik di kalangan pribumi maupun di kalangan penguasa kolonial. Seruan-seruan Soekarno itu pada tanggal 4 Juli 1927 dilanjutkan dengan pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sebagai tujuan utamanya dicanangkan untuk “mencapai kemerdekaan Indonesia.” Guna memberi semangat kepada para aktivis pergerakan, pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit Kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan itu. Dalam pleidoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yakni partai berhaluan nonkooperasi yang dibentuk pada tahun 1931 untuk menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial. Mendua Menarik untuk disimak bahwa meskipun Soekarno amat berapi-api dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, sebenarnya perlawanan itu tidak total, dalam arti tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk menuntaskan ketiga tantangan itu. Hal ini tampak misalnya ketika ia mendirikan PNI. Di satu pihak memang dengan jelas digariskan bahwa tujuan utama PNI adalah mencapai Indonesia merdeka. Tetapi di lain pihak cita-cita kemerdekaan itu tidak disertai hasrat untuk mengubah sistem politik yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan sistem politik yang sama sekali baru. Alih-alih perubahan total, Soekarno-sebagaimana banyak aktivis pergerakan waktu itu-berkeinginan bahwa negeri yang merdeka itu nanti akan ditopang oleh sistem yang mirip dengan sistem yang menopangnya saat terjajah. Hanya elitenya akan diganti dengan elite baru, yakni elite pribumi. Pemakaian Soekarno atas gagasan-gagasan Marxis amat selektif. Ia tertarik dengan pengertian proletariat-nya Marx, tetapi ia memperluasnya menjadi Marhaenisme. Di satu pihak perluasan itu membuat revolusi menjadi lebih jauh daripada sekadar pertarungan antara buruh pabrik melawan para kapitalis, tetapi di lain pihak hal ini juga membuat fokus revolusi menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi bertambah ketika disadari bahwa pemerintah kolonial, yakni pihak yang mau dilawan oleh kaum Marhaen, melibatkan juga banyak sekali pejabat dan pegawai pribumi. Dan dalam hal ini rupa-rupanya Soekarno memang tidak bermaksud mengadakan suatu perubahan total. “Kita berjuang bukan untuk melawan orang kaya,” tulisnya di harian Fikiran Rakjat tahun 1932, “melainkan untuk melawan sistem.“ Betapapun “galak”-nya Soekarno muda dalam menentang kolonialisme dan imperialisme dengan menggunakan prinsip non-kooperasi, ternyata ia tidak selalu konsisten. Sekitar bulan-bulan Agustus-September 1933, sebagaimana dilaporkan oleh pemerintah kolonial, ia menyatakan mundur dari keanggotaan Partindo, memohon maaf, dan meninggalkan prinsip non-kooperasi. Ia bahkan dilaporkan bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Lepas dari benar atau tidaknya laporan pemerintah itu, berita ini mengagetkan dan mengecewakan para pendukung gerakan kemerdekaan waktu itu. Mereka kecewa karena tokoh perjuangan yang mereka agung-agungkan, telah menyerah. Dalam koran Daulat Ra’jat edisi 30 November 1933 Mohammad Hatta bahkan menyebut peristiwa ini sebagai “Tragedie-Soekarno.” Hatta amat menyesalkan inkonsistensi serta lemahnya semangat perlawanan tokoh taktik nonkooperasi itu. Berhubungan dengan sikap anti-elitismenya perlu dilihat bahwa meskipun dalam pidato dan tulisan-tulisannya Soekarno tampak melawan elitisme, tetapi sebenarnya bisa diragukan apakah ia sepenuhnya demikian. Hal ini tampak misalnya dalam pidato yang ia sampaikan pada tanggal 26 November 1932 di Yogyakarta, kota pusat aristokrasi Jawa. Dalam pidato itu Soekarno mengajak setiap orang, apa pun status sosialnya, untuk bersatu demi kemerdekaan. Tetapi sekaligus ia menegaskan bahwa bersama Partindo dirinya tidak menginginkan perjuangan kelas. Dalam tulisan Nasionalisme, Islam dan Marxisme, sebagaimana disinyalir oleh McVey, sebenarnya Soekarno sama sekali tidak sedang bicara dengan rakyat banyak. Dalam tulisan itu ia, menurut McVey, “tidak menyampaikan imbauannya kepada kelompok-kelompok radikal pedesaan dan proletar yang telah memelopori pemberontakan komunis setahun sebelumnya, atau kepada para santri-santri taat pejuang Islam, atau kepada rakyat kebanyakan di dalam maupun di sekitar wilayah perkotaan yang bergabung ke dalam PNI yang didirikan oleh Soekarno saat mereka sedang mencari pegangan di tengah lunturnya nilai-nilai tradisional.” Soekarno, sebaliknya, lebih mengalamatkan imbauannya kepada sesama kaum elite pergerakan, atau kepada apa yang disebut oleh McVey sebagai “elite metropolitan,” yang keanggotaannya biasanya ditentukan oleh tingkat pendidikan Barat yang diperoleh seseorang. Kelompok elite metropolitan yang dituju oleh tulisan Soekarno itu sebenarnya jumlahnya amat kecil, dan kebanyakan dari mereka tinggal di kota-kota dengan pengaruh Eropa, seperti misalnya Bandung, Surabaya, Medan atau Jakarta. Di satu pihak, kelompok elite ini mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kemerdekaan Indonesia serta telah berpikir dalam rangka identitas nasional dan tidak lagi dalam rangka identitas regional seperti generasi pendahulunya. Di lain pihak, kelompok ini tidak melihat perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan secara total mengubah sistem yang ada, dengan segala corak kolonial-kapitalisnya. Yang lebih mendesak menurut para aktivis generasi ini adalah melengserkan elite pemerintahan kolonial asing dan menggantinya dengan elite lokal yang dalam hal ini adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka menghendaki adanya revolusi nasional, tetapi bukan revolusi sosial. Dalam kaitannya dengan rakyat banyak, anggota kelompok elite ini merasakan perlunya dukungan rakyat dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial. Pada saat yang sama mereka berupaya mengikis sikap-sikap tradisional rakyat yang mereka pandang sebagai penghalang bagi langkah menuju dunia modern, yakni dunia sebagaimana tercermin dalam kaum kolonialis Barat. Perasaan yang serupa tampaknya juga dimiliki oleh Soekarno. Bagi Soekarno muda, massa rakyat-betapapun tampak penting sebagai simbol dan sebagai potensi politik-sebenarnya lebih dibutuhkan sebagai sumber dukungan baginya dalam mengambil langkah-langkah politis. Oleh karena itu tidak mengherankan, sebagaimana pernah dikeluhkan oleh Hatta, jika kontak Soekarno dengan rakyat kebanyakan itu sebenarnya amat sedikit, terbatas pada kontak melalui pidato-pidato yang penuh tepuk tangan dan sorak-sorai. Dikatakan oleh Bernhard Dahm, penulis biografi Bung Karno, di satu pihak Soekarno menentang sikap rakyat yang mudah pasrah pada nasib, tetapi di lain pihak ia “membutuhkan sorak-sorai tepuk tangan (mereka) guna mendukung rasa percaya dirinya.” Dengan demikian tampak adanya sikap mendua (ambivalen) dalam sikap-sikap Soekarno terhadap kapitalisme, imperialisme maupun elitisme: Di satu pihak ia membenci ketiganya. Di lain pihak, sadar atau tidak, ia melihat bahwa beberapa aspek di dalam ketiganya layak untuk dipertahankan atau setidaknya untuk tidak dikutak-katik. Tidak sendirian Pertanyaannya, mengapa Soekarno mengambil sikap mendua itu? Pertama-tama perlu disadari bahwa bagaimanapun juga Soekarno adalah anak zamannya. Ia merupakan bagian dari generasi pergerakan pada tahun 1920-an. Berbeda dengan generasi 1908 yang berorientasi pada perubahan sistem tanpa disertai kuatnya gagasan mengenai Indonesia merdeka, generasi Soekarno lebih berorientasi pada pentingnya kemerdekaan, tetapi lemah dalam hal perjuangan demi perubahan sistem. Lebih dari itu, generasi tahun 1920-an - dengan lebih banyak lulusan pendidikan Barat - cenderung untuk justru mempertahankan sistem pemerintahan Barat yang ada, tetapi dengan menggeser elite kolonialnya untuk diganti dengan elite lokal. Sebagaimana ditunjukkan oleh Takashi Shiraishi, berbeda dengan generasi pendahulu yang menekankan ketokohan individu, generasi Soekarno menekankan kepartaian. Tetapi pada tahun 1920-an partai-partai itu mengalami banyak pertentangan internal yang di mata Soekarno akibatnya bisa fatal bagi gerakan menuju kemerdekaan. Pada tahun 1920, misalnya, terjadi pertentangan dalam tubuh Sarekat Islam, terutama antara apa yang disebut sebagai “SI Putih” dengan lawannya, “SI Merah.” Pertentangan ini kemudian mendorong lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1923 gerakan nasionalisme mengalami kemandekan total, ditandai dengan dibubarkannya National-Indische Partij (NIP) pada tahun itu, dan suburnya gerakan-gerakan yang lebih bercorak internasional, khususnya gerakan Islam dan Komunis. Pada tahun 1926-1927 PKI memutuskan untuk berontak terhadap pemerintah kolonial Belanda, tetapi karena kurangnya dukungan masyarakat, pemberontakan itu gagal. Soekarno sadar bahwa jika perpecahan itu tidak diatasi sekarang, hal itu bisa berakibat fatal bagi perjuangan kemerdekaan selanjutnya. Jika Soekarno muda tampak terpisah dari rakyat, sebenarnya ia tidak sendirian. Banyak tokoh elite perjuangan pada zamannya juga demikian. Ketika membubarkan PNI pada tanggal 25 April 1931, misalnya, para pemimpin partai itu tidak banyak berkonsultasi dengan rakyat kebanyakan yang menjadi anggotanya. Akibatnya rakyat menjadi kecewa, membentuk apa yang disebut “Golongan Merdeka,” dan memperjuangkan pentingnya pendidikan rakyat. Tentang perubahan sikap atau permohonan maaf Soekarno kepada pemerintah kolonial, hal itu perlu dilihat dalam konteksnya. Waktu dipenjara untuk kedua kalinya, Soekarno muda adalah bagaikan ikan yang dipisahkan dari “air”-nya, yakni massa yang biasa mendukungnya, dan yang membuatnya bersemangat dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam penjara itu ia disel sendirian selama delapan bulan tidak hanya tanpa harapan akan adanya keringanan hukum, melainkan juga dibayang-bayangi kemungkinan pembuangan ke “neraka” Boven Digul. Dalam keadaan demikian tidak mengherankan jika sebagai manusia Soekarno ada unsur menyerah. Berdampak luas Apa pun latar belakang sikap-sikap itu, pola hubungan elite rakyat yang diambil oleh Soekarno dan para aktivis pergerakan waktu itu rupa-rupanya memiliki dampak yang luas. Ketika pada tahun 1933-1934 Soekarno serta para pemimpin lain ditangkap dan diasingkan oleh Belanda, gerakan kemerdekaan mengalami kemacetan total. Tanpa adanya elite metropolitan itu seolah-olah rakyat tidak bisa lagi bergerak dalam perjuangan demi kemerdekaan. Pergerakan itu baru muncul kembali ketika para pemimpin yang diasingkan itu dibebaskan oleh Belanda saat mereka terancam oleh kedatangan balatentara Jepang. Bahkan pada masa revolusi sendiri bisa dipertanyakan apakah sebenarnya rakyat yang ikut gigih bertempur dan berkorban mempertahankan kemerdekaan itu mendapat kesempatan yang maksimal dalam menentukan arah revolusi. Dalam tulisannya mengenai pola hubungan antara elite dan rakyat pada zaman revolusi, Barbara Harvey menyatakan bahwa hubungan itu tidak hanya amat lemah, tetapi juga berakibat cukup fatal bagi revolusi kemerdekaan itu sendiri. Lemahnya hubungan antara para pemimpin nasional di tingkat pusat dengan rakyat di desa-desa, menurut dia, “merupakan faktor utama bagi gagalnya elite kepemimpinan untuk menggalang dan mengarahkan kekuatan rakyat demi terwujudnya tujuan-tujuan revolusi.“ Dengan kata lain, sebenarnya rakyat tidak sepenuhnya dilibatkan dalam proses bernegara. Jika ini benar, mungkin tak terlalu mengherankan jika PKI-meskipun pada tahun 1948 ditekan besar-besaran setelah peristiwa Madiun-dalam waktu singkat berkembang pesat pengikutnya. Ini antara lain karena di dalam PKI banyak rakyat merasakan bahwa justru dalam partai yang menekankan antikemapanan (baca: anti-elite metropolitan) itu kepentingan dan cita-cita mereka mendapat tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI bahkan berhasil memperoleh suara terbanyak keempat. Sayang sekali bahwa keterpisahan antara elite dan masyarakat itu pada zaman pasca-Soekarno tidak mengecil, melainkan justru membesar. Meskipun sejak naiknya Orde Baru pada akhir 1960-an aksespara elite kepada rakyat kebanyakan telah terbuka semakin luas-antara lain dengan naiknya tingkat pendidikan, semakin tersedianya sarana-sarana komunikasi dan menguatnya ekonomi-akses itu tak sepenuhnya termanfaatkan. Di bawah orde yang katanya “baru” itu tetap saja rakyat menjadi komponen massal yang dalam proses bernegara, berada di bawah kontrol elite metropolitan sebagai penentu hampir semua kebijakan yang ada. Tak jarang bahwa upaya-upaya untuk mendorong partisipasi rakyat lebih luas justru harus berhadapan dengan tindakan militer yang keras. Meminjam istilahnya Benedict Anderson, bisa dikatakan bahwa society-nya boleh baru, tetapi state (baca: elite)-nya tetap yang lama. Tak kalah sayangnya tentu saja adalah bahwa tumbangnya sistem pemerintahan militeristik masa Orde Baru tidak disusul dengan tumbuh suburnya demokrasi, melainkan dengan kaotiknya kehidupan politik, yang konon justru dimulai dari kalangan elitenya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sekarang ini di lapisan bawah rakyat merasa semakin kecewa terhadap perilaku, komentar-komentar, serta percekcokan yang lahir di antara kelompok elite politik yang ada. Ketika pada tahun 2001 bangsa ini memperingati seratus tahun lahirnya Soekarno dan lima puluh enam tahun Proklamasi Kemerdekaan, kita masih dilanda berbagai ketidakpastian, yang salah satu akarnya adalah keterpisahan antara elite dengan rakyatnya. Masih panjang Dengan sedikit meminjam seruan Bung Karno yang terkenal, sekarang ini kita perlu “membangun dunia baru.” Tetapi upaya untuk membangun dunia yang baru itu kiranya harus dimulai dengan terlebih dahulu “membangun Indonesia baru.” Dan upaya membangun Indonesia baru itu mungkin harus dimulai dengan membangun elite politik yang benar-benar lahir dari kalangan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam Indonesia yang baru itu diharapkan tiada lagi-kalaupun ada kecil peranannya-kelompok elite yang hanya sibuk berebut kekuasaan dan pengaruh. Hal ini bisa terjadi jika para aktivis muda reformasi sekarang ini tidak enggan untuk belajar dari para aktivis pergerakan generasi tahun 1920-an. Di satu pihak meneruskan sikap militan generasi itu dalam memperjuangkan cita-cita bersama dan rela berkurban demi cita-cita itu. Di lain pihak menolak kecenderungan untuk mewarisi sistem pemerintahan sebelumnya, yakni kecenderungan untuk mengganti elite lama dengan elite yang baru tetapi yang pola dan orientasi politiknya tetap sama. Dengan demikian akan bisa diharapkan lahirnya elite politik yang benar-benar berorientasi pada semakin terwujudnya demokrasi. “Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lanjut Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan Kongres AS itu. “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,” sambungnya. Ia sadar bahwa meskipun selama bertahun-tahun bangsa Indonesia telah beperang melawan kolonialisme, imperialisme dan elitisme, jalan menuju demokrasi masih tetap panjang. Tetapi Bung Karno juga sadar bahwa betapapun panjangnya sebuah perjalanan, ia harus dimulai dengan langkah-langkah pertama.

TANGGAPANKU:
PERLU DICERMATI SUMBER DAYA MANUSIA SAAT ITU DENGAN SEGALA MACAM TETEK BENGEK. POLITIK ETIS YANG DI CETUSKAN VAN DEVENTER TERNYATA BERKEMBANG HANYA DI KALANGAN BERADA DAN NIGRAT, MEREKA MENDAPAT KESEMPATAN LUAS, WALAU BERTAHAP DARI PEMERINTAH HINDIA BELANDA. KALAU AKU DIPOSISIKAN SEBAGAI SOEKARNO MUDA, AKU BISA MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG SAMA ATAU LEBIH RENDAH KUALITASNYA. TIDAK DIATASNYA SECARA KUALITAS, UNTUK PEMILIHAN PENDEKATAN SOEKARNO MUDA DKK. WAJAR SOEKARNO MUDA DKK MENGAMBIL TINDAKAN ‘PEMAKSAAN’ MAHZAB UNTUK LEPAS DARI KOLONIALISME.
KONDISI INDONESIA KETIKA ITU MEMANG PARAH. WALAU KONTRADIKTIF DAN TENDESIUS, 90 % LEBIH PENDUDUKNYA TARAF PENDIDIKAN DAN KECERDASANNYA SANGAT RENDAH. POLA KEHIDUPAN PENDUDUK DALAM TIAP SUKU-SUKU BANGSA TIDAK BERUBAH BANYAK SEJAK TERAKHIR SEKALI MAJAPAHIT BERKUASA. MASIH TERKOTAK-KOTAK; TERBUAI DALAM DONGENG-DONGENG KUNO. KAUM ELITE DULU GAGAL TOTAL, MALAH CENDERUNG HANYA MEMIKIRKAN PERUT SENDIRI.
HINDUISM TERNYATA TELAH BERSEMAYAM ABADI DI MENTAL HAMPIR TIAP-TIAP PENDUDUKNYA. KASTA SEBENARNYA TIDAK TERHAPUS, HANYA PENGGABUNGAN. BRAHMANA DAN SATRYA DIRANGKAP SATU; WAYSA; SUDRA DAN PARIA (KASTA YANG SEDIKIT DI ATAS TERNAK). SEBELUM INDONESIA MERDEKA, KEKUASAAN TERTINGGI SETELAH PENJAJAH DITANGAN BANGSAWAN LOKAL. MEREKA INI TIDAK AKAN MEMBERIKAN BEGITU SAJA SEMUA KENIKMATAN YANG MEREKA PEROLEH TURUN TEMURUN, YANG MEMAKMURKAN MEREKA SAJA.
PERGERAKAN NASIONAL YANG DIRINTIS SEJAK ERA DIPONEGORO HILANG, TUMBUH LAGI KETIKA MULTATULI MEMBONGKAR CULTURSTELSEL, HILANG LAGI KARENA DI SOGOK POLITIK ETIS YANG PARSIAL DAN DISKRIMATIF. WAHIDIN SOEDIRO HOESODO DKK HANYA DOKTER JAWA YANG DIBATASI ALOKASI ILMUNYA, TANPA PEMIMPIN. ADA JAWA LAINNYA YANG SEMPAT MEMIMPIN SEMUA KAUM PERGERAKAN KETIKA ITU, RADEN MAS TIRTO ADHI SOERYO, TAPI DIBUNGKAM DALAM RUMAH KACA, DAN MENINGGAL KESEPIAN DAN DILUPAKAN. BANYAK TUMBUH ORGANISASI PERGERAKAN MENUJU PEMBEBASAN DARI RANTAI KUTUK PENJAJAHAN, SAYANGNYA TERKOTAK DALAM NUANSA KEDAERAHAN, SEKTARIAN DAN WARNA POLITIKNYA. ADA LAGI COKROAMINOTO, MERTUA PERTAMA SOEKARNO, YANG SEMPAT DISEBUT RAJA JAWA TANPA MAHKOTA, BERAKHIR DIPEMBUANGAN SEPERTI DR. SOETOMO.
SEGALA CARA DIGUNAKAN UNTUK MELEPASKAN DIRI DARI KUNGKUNGAN SELANGKANGAN BELANDA, NEGARA KECIL DIBAWAH LAUT YANG DULUNYA MISKIN SEKALI. LAHIR BANYAK PARTAI POLITIK YANG SEKTARIAN. HILANGNYA R.M.T ADHI SOERYO DAN COKROAMINOTO SANGAT MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN PERGERAKAN INI SAMPAI PKI MELAKUKAN PEMBERONTAKAN TAHUN 1926, KETIKA ITU BELANDA LANGSUNG MEMBERANGUSNYA DENGAN CEPAT, MEREKA PARA PENGGERAK DAN PENGGAGAS DIBUANG KE BOVEN DIGUL. SEJAK ITU PERGERAKAN MATI SURI. SOEKARNO KETIKA ITU BUKAN SIAPA-SIAPA, MASIH ADA TOKOH-TOKOH LAIN YANG LEBIH MENONJOL, SEPERTI TAN MALAKA, SAYANGNYA DIA RADIKAL DAN MISTERIUS; JUGA BUKAN JAWA (PAHAM KAMPUNGAN YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG).
ANDAIKAN ADA ORANG YANG MENGURUT SEMUA JEJAK REKAM SOEKARNO, PASTI AKAN SANGAT MUDAH MEMBACA SEMUA TUJUAN PERGERAKANNYA. DIA DAN TEMAN-TEMAN MENYESUAIKANNYA DENGAN APAPUN SUMBER DAYA YANG DIMILIKI NATION INI DULU, JADI MAAF SAJA, JIKA DIA TERKESAN PLIN-PLAN, TAPI TERBAYAR KONTAN DENGAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN DI PENGANGSAAN TIMUR 46, 17 AGUSTUS 1945, DI RUMAH LAKSAMANA MUDA JEPANG MAEDA. RANTAI ITU TELAH DI HANCURKAN SETELAH BERABAD-ABAD MENGIKAT. TIADA GADING YANG TIDAK RETAK, RASANYA PASTI PERNAH MENDENGAR, TIDAK INGAT?
BANYAK JALAN KE ROMA, ITU PERIBAHASA YANG MENGGAMBARKAN BAGAIMANA SOKARNO DKK BERGERAK UNTUK KEMERDEKAAN. JANGAN SAKLEK DENGAN 1 METODA, ADALAH LANGKAH TERBIJAK YANG PALING AKU KAGUMI DARI MEREKA, PARA BRAHMANA BARU KETIKA ITU. SEGALA CARA DEMI MERDEKA, YANG PENTING MERDEKA DULU, INI SANGAT DOMINAN KETIKA BERLANGSUNG KONGRES PEMUDA SE-HINDIA BELANDA II. SEBAIKNYA MENERIMA SAJA KENYATAAN PAHIT ATAS KEKURANGAN ITU, DAN MENGAMBIL FAEDAHNYA. TIDAK ADA YANG SALAH DENGAN CARA PARA PENDAHULU MULIA INI, DEMI SATU KATA, MERDEKA!!!

BISIKAN UTK PARA TKW DI HK


"...Mudah-mudahan dengan membawa kabar baik. Kami menunggu..."

Franky, sama seperti beberapa orang baik hati lainnya, adalah potret dari nurani terbatas pada jangkauan tangan. Dia dan beberapa orang lain yang baik hati itu, adalah pejuang yang mengisi kemerdekaan kita selama ini melawan neokolonialisme dan penjajahan oleh bangsa sendiri.

Aku pernah mendengar tentang dongeng tua Sodom dan Gomora. Ketika itu, Malaikat atau Tuhan itu sendiri datang ke pada Abraham alias Nabi Ibrahim A.S mengabarkan kalau Dia ingin membumi hanguskan kota biadab itu hingga menjadi debu, karena kota itu penuh orang-orang berjiwa binatang. Sang Nabi, Bapak semua orang percaya itu, kaget tidak kepalang, karena disana ada keponakan dan keluarganya. Bapak semua agama semawi ini sampai menawarkan diri agar diberi kesempatan untuk menyadarkan kota itu. Tuhan itupun sebenarnya sempat terharu akan kebaikan hamba-Nya ini.

Terjadi negosiasi, Abram ketika itu sampai mengatakan, " Bagaimana jika disana ada 100 orang percaya, apakah akan dibakar juga?".

Si malaikat itu berkata, " Kalau ada orang percaya sekitar itu, kota itu akan selamat".

Nabi besar ini berpikir, " Mungkin disana ga ada orang sebanyak itu".

Negosiasi terus berlangsung, dari 100 ke 50 k3 35 ...dst, sampai Ibrahim menawarkan bagaimana jika hanya ada 5 orang percaya saja.

Dan Michael atau Mikhail, Sang Penghulu Malaikat berkata, " Sebaiknya Aku kesana saja, karena jumlah itupun ternyata tidak bisa dimiliki kota besar itu".

Alkisah, kota itu pun tetap dibakar, karena ternyata hanya ada 3 orang percaya disana, keponakan Ibrahim dan 2 orang putrinya, sementara istrinya berubah menjadi tiang garam.

Nah, andaikan ada orang-orang seperti Franky dkk di kota itu, mungkin kota itu tidak akan pernah dibakar.

Aku bisa mengerti akan keterbatasan Franky, seperti aktivis lainnya, mereka itu pejuang kesepian...dan tangan mereka pun tidak bisa menyentuh angkuhnya langit diatas sana. Negeri ini semakin lama semakin menyedihkan...

Tapi apa pun itu, kalian harus bisa tetap survive dan tetap eksis. Sampaikan kepada teman-teman disana, kalau kadang modal nekat dan keberanian saja tidak cukup. Tetaplah belajar walau harus merangkak. Keep on fighting in your heart...

Berharap itu seperti impian membuai dan berusaha agar tetap dijalur yang tepat.

Maaf, pemerintah negeri mu sendiri hanya peduli dengan pajak yang diperoleh dari keringat dan air mata kalian, bukan nasib atau keselamatan kalian...Petinggi negeri ini terlalu sibuk buat ajang pemilu 2 tahun lagi...sekali lagi maaf, ini kenyataan pahit...

Lidi jika satu akan gampang sekali dipatahkan bahkan oleh balita usia 2 tahun sekalipun, tapi jika bersatu dan diikat dengan tekad kuat dan doa pengharapan yang tiada hentinya, NISCAYA akan sulit mereka mematahkannya, siapapun itu. Janganlah lidi-lidi itu sampai berserakan bercerai...sekali lagi...

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG....BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP



SURAT dari gembel UNTUK NOER dll (TKW di HK)


"...Bumine goyang...Bumine goyang...Arane lindhu; Wong ninggal sembahyang...Wong ninggal sembahyang bakal diblenggu..."

Semua mantera yang melindungi rumah majikan-mu akan 'runtuh' begitu kamu mengumandangkan azan. Ini adalah SUFI, tapi biarlah itu ' aku simpan dihati saja. Maka-nya seruan kerinduan itu sangat dilarang di rumah majikan-mu.

Aku pernah menemukan kata-kata bijak dalam tulisan yang sangat tua sekali:

1.PENDERITAAN AKAN MEMBAWA KETEKUNAN;

2.KETEKUNAN AKAN MELAHIRKAN PENGHARAPAN;

3. PENGHARAPAN ADALAH AWAL DARI KEKUATAN...

Semoga kamu mengerti akan hal ini.

Hongkong dibawah RRC membelenggu HAM, itu sudah menjadi rahasia umum. Tibet saja mereka berangus, Dhalai Lama pun diusir. Jadi jangan mengeluh karena-nya.

Aku percaya satu hal, kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Sudah seberang lautan dan daratan, masa cengeng?

" GAMPANG SEKALI KAMU NGOMONG-NYA", itu mungkin ada dihati-mu.

Hal ini adalah masalah universal, jika minoritas di suatu mayoritas. Di Indonesia pun mereka ( sekaum dengan majikan-mu ) diperlakukan sangat buruk, kebebasan mereka utk menjalankan ibadah-nya juga dikebiri. Jadi hal seperti ini ada dimana-mana. Aku adalah saksi-nya.

Manusia yang berkelompok akan 'mengucilkan' manusia yang individuil. Teori Darwin mengatakan, " BURUNG BELIBIS HANYA AKAN BERKUMPUL DENGAN BURUNG BELIBIS ".

Tetaplah beribadah sebagaimana biasa-nya.

Mengadulah dan pujilah Allah-mu dalam hati, karena disanalah SURAU yang hakiki.

Allah yang kamu sembah itu adalah Allah Yang Maha Segalanya, apapun yang kamu inginkan.

Allah -mu itu tidak mensyaratkan rituil tertentu jika memang situasinya tidak memungkinkan.

Allah -mu tidak terikat kepada norma, karena norma adalah buatan manusia, DIA steril dari itu.

Allah -mu suka orang yang beribadah kepada-NYA dengan lebih dahulu mengambil wudhu, yang membasuh hati dan pekerti-nya.

"...BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG...BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP..."

Ps : Maaf kalau aku lancang, sebenarnya aku kesulitan mencarinya di 360-mu itu, terpaksa aku harus masuk lewat webnya, dan terpaksa juga aku buat comment disini, sekali lagi maaf!



BRAGA WEG...


"...Bandoeng, O wonderstad, dat zegt toch iedereen, een stad vol pracht en praal, altijd even schoon en rein, kortom, een plaats bij uitnemendheid, Bandoeng, heer lijke staad…”( lirik lagu Rara Sulastri, 1933)

"...Maarschalk en Gouverneur Generaal Mr. Herman Willem Daendels membangun jalan raya Postweg, rampung tahun 1809. Jalan Daendels membentang 1000 Km sepanjang pantai Lor Jawa, dari Anyer ke Panurukan. Melewati bumi Parahyangan, tempat para hyang, leluhur dan dewa. Bupati R.A.A. Wiranatakusuma bersama Daendels mencetuskan pembangunan sebuah kota, dataran eks danau purba diketinggian 700 m diatas permukaan laut, 25 Mei 1810. Pedatiweg disebut karena jalan tersebut tempat lalu lintasnya kereta pedati. Nama yang masih dipakai sampai akhir tahun l882. Resident Bandung B. Coops menginginkannya menjadi sentra pertokoan di Nederland Indies bergaya barok dan renaissance. Assistent Resident Bandung Pieter Sitjhoff merubah namanya menjadi Bragaweg; diambil dari nama kelompok tonilnya. Konsep perencanaan tata ruang kota yang sesuai dengan rencana Gouverneurment en Koninktijk Nederland Indies untuk menjadikan Bandoeng sebagai ibukota menggantikan Batavia…” ini sekapur sirih tentangnya, murni dari otak sendiri.

BRAGAWEG SANGAT TERKENAL sampai akhir 1940
BANDOENG GROOHE POSTWEG MEMBUAT KOTA ITU MENJADI PARIJS VAN JAVA
TEMPAT PLESIER PARA NONI, JUFFROUW, NYAI, RADEN AJOE, MEVROUW, PRINSE, PRINSES, SINYO, MENAK, RADEN, TAUKE, STUDENT, MENEER,
PRIA-PRIA TAMPAN DAN WANITA-WANITA CANTIK BERBAGAI BANGSA GAMPANG DITEMUKAN DISINI
NENG GEULIS JUGA MENJAJAKAN DAGANGAN DAN SENYUM
TERSEDIA BARANG-BARANG JUALAN SEPERTI DI KOTA-KOTA BESAR LAINNYA DI DUNIA.
GEDUNG-GEDUNG MENTERENG BERJEJER, TERTATA RAPI
KEMIRINGAN JALANNYA IDEAL.
AIR HUJAN YANG TURUN DIALIRKAN KE KALI CIKAPUNDUNG
BERSELIWERAN MOBIL-MOBIL TERMEWAH DIZAMANNYA.
DI JALAN INI, WAKTU BERJALAN TIDAK TERASA, KARENA KECANTIKAN, UDARA SEJUK MEMBUAT SANG WAKTU TERTIDUR
KINI HANYA KENANGAN, KEHIDUPAN YANG CENDERUNG HEDONISM.
TERSISA GEDUNG TUA TANPA CERIA.
ADA MALL YANG MENGAMBIL ROH BRAGAWEG.
TIDAK LAGI KOTA KEMBANG, KEMBANG SEGALANYA.
KENAPA TIDAK DITATA SEPERTI ORCHARD ROAD?
JALAN SETAPAK KOTOR KETIKA BRAGAWEG JADI PRIMADONA.
BANDUNG SESAK OLEH MALL, KIAN SEMERAWUT
TATA BRAGAWEG SEBAGAI KAWASAN RAPI, BERSIH NAN ELITE!
JALAN INI MASIH SEPERTI BAHEULA, MOJANG PRIANGAN
KINI MOBIL-MOBIL HANYA SEKEDAR LEWAT SAJA.
TIDAK SINGGAH , TIDAK MERAYU LAGI SI NONI CANTIK
SAKSI NYATA ABADI AKAN BANYAK KISAH-KISAH
CINTA, PENGHIANATAN, KEKALAHAN, KEMENANGAN,
KEDAMAIAN, PENINDASAN, KESEMERAWUTAN, PEMBERONTAKAN DSB

Tuesday, July 31, 2007

Auxiliary Odds




Endowment I, supplementary occasion toward verdict
As each brainless prior to
YOU furnish! devotion en route
Pro endeavor, intended for subsequent
Plow I, determine toning flawless, resemble YOU
Flush, I relentlessly plummet apiece gasp, I seize
Nevertheless subsequently to GRACE,
I stumble on, down in the midst of rouse, yet again
I won’t lie to decease the analogous gaffe
YOU reliance me

C O N F I N E S


All living things comprise restrictions
Each, wishes to splinter them Occasionally, allocate it to ensue
Inhabitants are the frontiers
Obligated the Solitary Faultless?
Mostly, not soul’s flask toddle unaided
Get the insistent, make it genuine
Chase your fortitude, use Weaponry?

THE CHRONICLES OF LIVERPOOL fc 1997-2007


” WHeN You WaLK THRouGH a SToRM, HoLD YouR HeaD uP HiGH aND DoN’T Be aFRaiD oF THE DaRK...”

Rasanya selalu kesal jika melihat prestasi yg diperoleh man u, arsenal dan chelsea plus kelakuan penggemarnya. Ke-3 klub itu adalah tim-tim 'lokal' yg beruntung mengambil kesempatan dari mandeknya Liverpool, klub yang didirikan Sir John Houlding.
Talenta-talenta pemain era Roy Evans tidak istimewa untuk sebuah nama besar di Eropa, yang dirintis sejak Bill Shankly, namun prestasinya tidak lebih buruk dari Gerrard Houllier. Roy Evans adalah abdi sejati The Merseysiders, generasi terakhir tradisi BOOT ROOM, sejak Sir Bob Paisley. Jamie Carragher, Steven Gerrard, David Murphy dan Michael Owen adalah buah terakhir dari tradisi BOOT ROOM, dan itu bukan oleh pencetus french connections di Anfield...Malah pemain bagus yang dia beli ditendang juga. Sangat beda ketika dia di Olympique Lyonnais. Atau ketika di klub berlogo Liverbird adalah BELAJAR? Seharusnya ketika Houllier terkena serangan jantung thn 2001, adalah saat yg tepat menendangnya. character Phill Thompson menunjukkan perkembangan lebih baik klub yang berlatih di eks sekolah St. Francis Xavier; dibawah legenda ini, REDS menduduki posisi puncak di ENGLISH PREMIER LEAGUE sampai akhirnya, Houllier kembali, dan man...fu@#**...u juara.

” At thE End Of thE stOrm Is A gOldEn sky And thE swEEt sIlvEr sOng Of A LArk...”

Rafael Benitez memiliki ambisi dan rencana besar ttg Liverpool kedepan. The Kops harus menghormati kontraknya dari board of directors. Tanpa gelar ENGLISH PREMIER LEAGUE selama 18 tahun, untuk klub legendaris yang bermarkas di Melwood West Drive, yang juga akan pindah ke Stanley Park, adalah suatu AIB memalukan. Rafa pun akhirnya didatangkan setelah banyak spekulasi yg tidak pasti.
Awalnya Rafa harus hidup dgn pemain-pemain sisa era Houllier: Harry Kewell; Djibril Cisse; Jhon Arne Riise; Steve Finnan; Sami Hyypia; Chris Kirkland; Jerzy Dudek; Salif Diao; Le Tallec dan Florent Pongolle. Hyypia dibutuh untuk jam terbang tinggi dibarengi pengabdian lama dan bagus, juga transfer ilmu ke youngsters. Hyypia yang disebut titisan Ron Yeats, sudah mulai tua. Kirkland tidak pernah bisa membuktikan bahwa dia layak sebagai benteng pertahanan terakhir.
Kewell awalnya sempat memberi harapan, tapi apa yang didapat? Sepanjang berkarier di Liverpool, dia lebih banyak cidera, kalaupun fit, konsistensinya parah. Saat dibeli dari Leeds, media memprediksi, Liverpool memiliki lagi sayap kiri berkualitas dunia sejak John Barnes dan McManaman pergi. Kewell layak diberi kesempatan terakhir untuk membuktikan dirinya. Hal yang sama berlaku untuk Djibril Ciisse. The Anfield Gangs tidak bisa bertahan terus dalam mimpi kosong. Tulisan ” THIS IS ANFIELD ” harus tetap ANGKER.

” WaLK oN THRouGH THe WiND, WaLK oN THRouGH THe RaiN, THRouGH YouR DReaMS Be ToSSeD aND BLoWN..."

Dalam formasi baku 4-4-2, komposisi dari jatah 25 senior team Liverpool hanya ada 23 pemain, seperti: Reina dan Carson (GK); Finnan dan Arbeloa (DR); Aurelio, Riise (DL); Carragher, Agger, Hyypia, Paletta (DC); Pennant, Benayoun (MR); Mascherano, Sissoko, Xabi Alonso (DM); Kewell, Babel (ML); Gerrard, Lucas (MC); Crouch, Voronin, Torres dan Kuyt (FC). Sebaiknya REDS membeli 2 lagi pemain diposisi bek dan gelandang sayap kanan, tentunya dgn kualitas terjamin. Untuk bersaing meraih juara ENGLISH PREMIER LEAGUE dan UEFA CHAMPIONS LEAGUE jamak setiap klub memiliki 2 lapis kompisisi pemain yang setara diposisi yang sama. Ada pemain berkualitas yang masih diburu, dengan budget sekitar 30-40 juta poundsterling seperti: Dani Alves, Quaresma dan usaha perampokan Gabriel Heinze. Namun Liverpool adalah pemasok tim nasional Inggris, Rafa sebaiknya merekrut dari Inggris juga. Jamie Carragher adalah scouser dan DC terbaik, telah memutuskan untuk tidak membela lagi skuad THREE LION, sejak dia merasa disia-siakan Steve McLaren. Diposisi itu memang Union Jack memiliki sejumlah stok bagus, tapi Jamie adalah jaminan atas pembuktiaan diri. Akademi sepakbolanya juga sangat terkenal.
Susunan staff coach terjadi pergantian dari pelatih khusus goalkeeping dari Ochotorena ke Xavi Valero. Mc Parland pergi ke Bolton menemani legenda Liverpool lainnya, Sammy Lee. Masih banyak pembenahan yang diperlukan jika Liverpool ingin kembali merajai Eropa, tapi seperti peribahasa, LoNDoN TiDaK DiBaNGuN DaLaM SePuRNaMa . Hanya candi Prambanan yang dibangun dalam semalam itupun 99 % atau Sangkuriang membuat danau purba Bandung. Namun Rafalution (spanish only??) masih terus berjalan, dibawah supervisi Rick Perry, dengan dukungan duo Yankees Gillet & Hicks.

“ WaLK oN… WiTH HoPe iN YouR HeaRT aND…You’LL NeVeR WaLK aLoNe ”

HARIMAU SUMATERA, aku lengkapi ceritamu


Aku pernah mendengar nama sejenis, HARIMAU TAPANULI, sebuah klub sepakbola bagus yang hanya khusus sebagai alat perjudian bos-nya. Kemaren di beberapa page teman2 ada yang menuliskan ttg harimau, khususnya Harimau di Indonesia, awareness akan kepunahan species itu. Kalau mengingat ttg Harimau Sumatera, aku teringat akan kalung kuku dan taring si Raja Rimba yang selalu ada dileherku, dulu. Sekarang bisnis ini sangat menggiurkan, banyak ditemukan bagian tubuhnya di pedalaman Sumatera, malah ada yang mengatakan sebagai obat kuat pria. Padahal, sepanjang yang aku ketahui, Harimau juga termasuk kategori AYAM JANTAN, 30 detik saja sudah keluar...he he he...

Dasar orang Cina, pikirannya kemana-mana saja, ga sehat, mereka inilah yg mendorong terjadinya pembantaian besar2an Harimau Sumatera; dan orang Cina pun bukan termasuk pria perkasa...ayo mana buktinya? Bukannya SARA, tapi ini kenyataan dilapangan kok. Aku ada cerita tentang ini...

ketika itu, seorang anak berusia hampir 7 tahun murid kelas 2 SD, berjalan memasuki rimbunnya belantara pegunungan Bukit Barisan, yang menghampar dari Aceh hingga ke Lampung, bersama seorang pria tua berusia 65 tahun; berbadan tegap; gagah perkasa; muka kasar penuh guratan pengalaman; jari kelingking tangan kirinya patah; ransel kulit tua kesayangan yang telah hampir 40 tahun bersamanya, ada dipunggung belakang; jaket kanvas kumal pemberian seorang yang sangat disayanginya, Bapa Mudanya; dipinggang tergantung sarung kulit kerbau kering belati tua dengan gagang kayu ebony, belati yang mungkin telah berusia hampir 150 tahun, belati dari mutu baja terbaik pemberian seorang sahabat lamanya ketika berkunjung ke Turki, orang Kurdistan, seorang pengawal pribadi juga.

" Bang, aku haus dan lapar, istirahat ya bang?". Pria tua itu menghela dan tersenyum geli, " Ya nak, mari istirahat, masih lumayan jauh perjalanan ini, mari kita habiskan libur sekolahmu". Aneh, si anak malah memanggil pria tua itu abang, padahal dia pantes dipanggil Ayah atau kakek.

Pria itu berkata, " Walau aku jauh lebih tua dari ayah mu, tapi aku memanggilnya Bapa Muda, karena darahnya lebih tua dari darahku, dan adat mengharuskan aku memanggilnya Bapa Muda. Darah yang mengalir didarahmu adalah darah seorang bijak, disegani dan penguasa di sekitar danau tua itu, seseorang yang hidup beratus tahun yg lalu, tapi kharisma dan kebaikan hatinya selalu dihormati dan dikenang. Anak kecil, kamu sebenarnya harus aku panggil abang, karena jika diurut dari si orang bijak itu, darahmu masih lebih tua".

"Bang, kenapa jarimu putus? " tanya si anak kecil itu. "...Ini tidak seberapa anakku, teman-teman lain malah ada yang kehilangan segalanya".

Pria tua itu adalah seorang veteran perang dunia ke-2. Dia pernah bertemu dengan banyak tokoh-tokoh paling penting negeri ini, dimasa itu. Dia adalah seorang pengawal pribadi bagi beberapa BRAHMANA penting negeri ini. Pria tua itu menguasai beberapa warisan penting dari negeri tempat dia dibesarkan, ILMU SILAT, warisan yang harus diturunkan ke generasi selanjutnya. Pria ini sangat misterius, sedikit legendanya di laskar khusus dengan tugas khusus pula. Dia lebih banyak hidup dialam bebas, menjadi simbol Sumatera ketika itu. Pria tua ini adalah seorang pengawal khusus bagi Agus Salim, Soekarno (ketika dibuang ke Sumatera dan berkunjung ke luar negeri), Oerip Soemoharjo, Bung Hatta (idem), Liberti Manik, Syarifuddin Prawiranegara(idem) dan terakhir Tan Malaka. Dia juga termasuk perintis berdirinya Kopasus sekarang, sejak diberdirikan oleh seorang desertir Belanda yang membelot membela Indonesia. Dia juga seorang teman baik bagi komandannya, Slamet Riyadi.

Dia ini sangat ditakuti oleh Marsoese, Kempetai, dan pasukan terbaik Jenderal Besar Douglas Mac Arthur ketika merebut Surabaya, Gurkha. Mereka lah yang menghancurkan Sekutu di Surabaya, kelak dikenal sebagai pertempuran legendaris di Jembatan Merah Soerabaya, 10 november 1945. HANTU ini hampir ada disemua pertempuran hebat yang pernah dilakukan TNI. Dia bersama dengan temannya adalah HANTU. Namanya ada tapi orangnya ga pernah nongol. Dia dan temannya adalah pasukan perintis, infantrinya infantri yang pertama meng-infiltrasi benteng-benteng Belanda, jika melakukan serangan gerilya. Soedirman dan Nasution mengetahui keberadaan mereka, tapi tidak tahu orang-orangnya. Mereka ini bisa menembus ketatnya Pangkalan Angkatan laut militer Belanda di Cirebon, kelak dikenal sebagai hari sucinya pasukan khusus Indonesia. Mereka ini bisa berkeliaran leluasa disela-sela tembakan peluru Belanda, sambil meledakkan instalasi militer penting Belanda itu. Namanya terkenal karena pernah sebagai 2 orang dari 100 orang pejuang kita, yg selamat hidup-hidup dari gempuran hebat Jepang, berkekuatan 340 orang pasukan berani mati terbaik Nipon, semuanya mati di medan perang itu, sebuah pertempuran dahsyat yang dilupakan.

Mereka memasuki rimba itu. Segera menyiapkan tempat berkemah dan beristirahat. Anak kecil itu kaget karena mereka tinggal di pohon, ga seperti dalam bayangannya selama ini. " Gila nih orang tua, seperti kera saja lincahnya".

Bekal yang dibawa tidak banyak, hanya berupa bumbu, tali, ramuan obat-obatan dll. Tidak ada makanan siap kunyah. Si anak kecil hanya pasrah saja, dia tahu dia berada ditangan orang yang bertanggung jawab dan aman.

Orang tua si anak kecil ini pun tidak melarangnya ketika anak itu diajak pelesir, " PELESIR YANG ANEH".

Dia mengajarkan anak kecil itu banyak sekali ilmu-ilmu survive dihutan rimba, seperti kakak sulungnya, yang membuat dia pernah menjadi HANTU. Dia juga mengajarkan banyak pengetahuan tentang keberagaman hayati di alam Sumatera. Ketika itu, dia mengajak anak kecil itu ke air mata yang cukup jauh dari pohon tempat mereka tinggal. Anak kecil itu tersenyum geli, karena di ajarkan membuat rumah pohon seperti dalam dongeng yang sering dibacakan mama nya. Yang namanya anak kecil, ketika ketemu air terjun dan telaga kecil, langsung saja nyebur untuk berenang dan bermain. Anak itu tidak mengetahui kalau sumber air itu adalah milik semua mahluk hidup yang ada di hutan itu.

Ada beberapa ular yang ditemukannya disana, tapi karena didikan si pria tua itu dulu, anak itu dapat mengatasinya, " Ingat nak, ular pernah di sebutkan sebagai ibu yang melahirkan orang yang menjadi leluhur kita, jangan di bunuh kecuali dia berniat tidak baik, ambil kayu, atau biarkan dia berlalu".

Anak kecil itu sangat meresapi semua wejengan orang tua itu, Orang tua yang tidak memiliki putra, hanya seorang putri yang telah berkeluarga juga, dan tinggal jauh diseberang pulau sana, pulau yang juga menjadi kenangannya, kala menjadi HANTU MOMOK bagi penjajah, dan sobat karib beberapa pejuang dan HANTU lainnya juga penduduknya, JAWA.

Tanpa disadari si anak, yang senang bermain di telaga kecil itu, ada seekor Harimau jantan berekor pendek datang mendekat, mungkin untuk minum atau untuk mencari mangsa. Si anak kontan ketakutan, karena telaga kecil itu dalamnya hanya selutut si anak tadi. Segera anak itu berlari ketepian lainnya, mendekati orang tua yang menjadi pelindungnya.

Anak itu ingat satu hal, " Jangan berlari jika bertemu dengan OMPUNG (sebutan untuk Harimau), karena jika kamu berlari, berarti dia akan menganggap kamu sebagai mangsanya".

Anak itu pun segera menyadarinya, posisi si orang tua itu agak lumayan jauh darinya, sedang mengumpulkan daun2 untuk dijadikan ramuan obat baginya sendiri. Segera si anak itu berbalik badan dengan telanjang bulat, (maklumlah dihutan dan dia kan masih anak-anak) menatap kearah si Harimau jantan tadi, HARIMAU SUMATERA. Anak itu menatap penuh kegarangan, segera mengambil belati pendeknya dan menghunuskannya didepan dada. Anak itu terdiam menunggu reaksi si harimau itu.

Harimau itu segera membalas tatapannya, mungkin berpikir, " Siapa anak ini berani menatap mataku? Dia tidak takut. Anak ini tidak ketakutan seperti yang lainnya".

Tapi yang namanya Raja Hutan, dia merasa dialah yang berkuasa disana, dialah HARIMAU SUMATERA. Dia segera mendekati anak itu, memasuki telaga itu. Tingginya hampir sama dengan anak itu.

Sementara di tempat lain, seorang pria tua, entah bagaimana caranya, telah 'terbang' melompat dari satu batu ke batu yg lainnya. Hitungan detik dia telah ada disamping si anak. Pria tua itu pun segera menghunuskan belati tuanya. Berbicara kepada si harimau, entah apa yang mereka bicarakan, yang satu menggeram dan mengaum yang satu lagi berbicara dalam bahasa manusia. Sementara si anak sudah jiper, karena mimpi buruk itu bukan saja didalam dongeng yang selalu diceritakan mamanya dan istri pria tua itu.

Harimau itu mendekat karena ternyata si anak telah mendekat pula," Gila nyali nih anak kecil".

Pria tua pun menyadarinya, dia segera melangkah didepan anak itu melindunginya. Pria itu membuka jaket lusuhnya, dengan terlebih dulu meletakkan ransel tuanya. Melangkah mendekati kearah harimau itu. Hitungan menit-an telah terjadi perkelahian sengit dan hebat antara si pria melawan harimau itu. Tidak beberapa lama, terlihat ceceran darah dari keduanya, dan anak itupun menjerit sambil menangis, mendekati si harimau sambil menikamnya berkali-kali didada dan di mulutnya yang sedang mengigit lengan si pria tua. Harimau itu telah tergeletak karena belati pria tua itu sangat tajam sekali, konon besi pun bisa dipotong belati itu, agaknya tulang yang melindungi perut dan jantung si harimau itu koyak dan patah ditebas belati Turki itu. Si pria tua itu pun tergeletak kesakitan, begitu dia menyadari Harimau Sumatera itu telah bersimbah darah. Harimau Sumatera itu tewas ditangan HARIMAU SUMATERA.

Anak itu, yang baju dan badannya telah bersimbah darah, segera memanggul pria yang dikasihinya itu, menuntunnya ke rumah pohon mereka. Segera mengobati pria tua itu dengan ramuan yang dibawa, tentu dengan bimbingannya. Menjelang Asar, pria tua itu telah kembali dari telaga membawa seonggok daging yang telah dikuliti, bangkai harimau itu. Malam itu mereka menyantap bangkai harimau itu, sebagian ada yang dipotong kecil untuk dibawa pulang. Kuku dan taringnya di preteli untuk dijadikan barang pribadi pria tua itu.

Anak itu terbangun ketika si pria tua itu telah memotong-motong bangkai itu, dalam hatinya, " Ini kan pertarungan untuk bertahan hidup, jadi bukan untuk membunuh karena dendam atau maksud lainnya. daging itu juga untuk dimakan kok, jadi ga akan salah dan disalahkan".

Taring dan kuku itu kelak, disepuh dan diubah menjadi sebuah kenangan oleh pria tua itu.

KALUNG DAN TARING ITU LAH YANG SELALU MEGHIASI LEHER KU, AKULAH ANAK KECIL DICERITA. SEKARANG HARIMAU SUMATERA ITU JUA TELAH KEMBALI BERPULANG KEPADA PENCIPTANYA. NAMUN AJARAN DAN WEJENGANNYA SELALU BERSEMAYAM DIDALAM HATIKU. KELAK TARING ITU AKU BERIKAN KEPADA PUTRI TUNGGAL SI HARIMAU SUMATERA. SEMUA DIKELUARGAKU MENDAPATKANNYA. TAPI KALUNG KUKU ITU, ADALAH KUKU YANG PERNAH MELUKAI TANGANKU KETIKA AKU MENIKAM HARIMAU ITU. KALUNGKU ITU ADALAH PEMBERIAN HARIMAU SUMATERA KHUSUS DIKERJAKAN OLEH TANGANNYA SENDIRI UNTUK AKU DAN PAPAKU, ORANG-ORANG YANG DIKASIHINYA DISAMPING ISTRI DAN PUTRI TUNGGALNYA.

Tuesday, July 24, 2007

BIOGRAPI MULTATULI


Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker. Sr, lahir tahun 1820 di Amsterdam. Berasal dari keluarga Protestant sederhana. Dia dikirim ayahnya sekolah pendeta tahun 1832 di Latinje School, tidak selesai kemudian dia mencoba bekerja tapi di-PHK. Ayahnya yang kapten kapal mengantarnya ke Hindia Belanda ketika berusia 18 tahun, bekerja di Dewan Pengawas Keuangan di Batavia. Amtenaar muda ini walau berprestasi dalam kerja, harus meninggalkan pekerjaan karena stress berat diputuskan seorang gadis Catholic, Caroline Versteegh. Sifat royal karena masa kecil yang kekurangan, menjadi penyebab ayah gadis londo itu menolak pinangannya.

Tahun 1842, meminta dipindahkan ke Sumatera Barat yang masih ada pergolakan, dibawah pimpinan Jenderal Michiels, bulan Juli 1842, dia ditempatkan di Natal sebagai kontrolir, jabatan yang menyibukkan dan harus banyak bertemu dengan penduduk setempat. Setahun kemudian dia dipecat Jenderal itu karena administrasi keuangan jebol, di Padang Hulu, dia di tahan rumah-kan, dan dipaksa mengganti kerugian itu. Setahun kemudian dia kembali ke Batavia, tahun berikutnya ditugaskan di gubernemen Kerawang, Bagelan, Menado dan tahun 1851 menjadi asisten residen di Ambon, tapi dia sakit keras kemudian. Dia menikahi Everdine Huberte van Wijnbergen alias Tine.

Tahun 1852 dia kembali ke Belanda untuk cuti pertama, dan memperoleh anak pertama. Sifat borosnya selalu menyebabkan kesulitan baginya. Mei 1855 dia sekeluarga kembali ke Hindia, diterima Gubernur Jenderal Duymer van Twist, ditugaskan ke Lebak, Banten, sebagai asisten residen. Dia sangat mencintai bumiputera. Setelah cukup adaptasi dengan Rangkas Bitung, dia mulai membongkar kasus-kasus juga menemukan banyak kesewenangan dan penindasan dari Bupati, Demang (menantu bupati). Ternyata pejabat sebelumnya juga tertendang karena mencoba membongkar kasus itu. Kesulitan menemukan bukti-bukti yang bisa membongkar kasus itu. Ketika tanam paksa telah berlaku diseluruh Hindia Belanda. Dalam sistem pemerintahan ketika itu, residen hanya sebagai atasan para menak, namun tidak punya akses ke masyarakat.

Bupati Lebak Raden Adipati Karta Nata Nagara bersama menantunya, Demang Parangkujang sangat sewenang-wenang, sampai untuk membersihkan pekarangan kediaman mereka saja mengambil penduduk dari berbagai desa, sementara pemerintahan kolonial sangat keberatan karena jumlah pekerja itu dibutuhkan untuk tanam paksa. Hal ini dilaporkan ke atasannya Residen Brest van Kempen, yang kemudian diteruskan ke Gubernur Jenderal. Apa dinyana, dia malah ditegur dan dianggap tidak becus. Multatuli sangat marah karena reaksi yang tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya, Dia mengajukan pengunduran diri, dan diluluskan. Setelah dia pergi, kasus di bongkar dan semua kaki tangan penindas dari bupati diberhentikan dengan tidak hormat. Orang jujur ini sangat mencintai keadilan walau dia juga seorang boros.

Sebenarnya kasus tersingkirnya Multatuli adalah akibat dari sistem dualisme kekuasaan antara bupati dengan residen, penggantian seorang bupati dapat menimbulkan gejolak baru, sementara itu pemerintah Hindia sedang mengalami defisit keuangan karena perang melelahkan dengan Pangeran Diponegoro dan kaum paderi. Sementara menurut tata pemerintahan dan pergaulan di Lebak kala itu, cara Multatuli memulangkan pekerja-pekerja yang membersihkan pekarangan rumah bupati dianggap kurang ajar oleh norma-norma di Jawa.

April 1857, Dekker sendiri kembali ke Eropa, tahun 1859 keluarganya menyusul. Di suatu losmen di Brussel, dia menuliskan kasus itu kedalam sebuah buku, sebagai protes, Max Havelaar (Aku telah banyak menderita). Dwi fungsi dari buku itu adalah untuk diakhirinya pemerasan dan dikembalikan kehormatan rakyat jelata di Jawa; dan nama baiknya dipulihkan.

Penerbit yang sangat terkenal kala itu Jacob van Lennep telah menduga buku itu adalah sebuah mahakarya, tapi disimpan dan diterbitkan pelan karena takut mengguncang, makanya semua nama tempat, angka tahun diganti dengan tanda baca titik-titik. Mei 1860 buku ini menjadi best- seller di Eropa walau lambat diterima masyarakat disana. Dia yang telah menjadi pujangga besar, kemudian mengeluarkan buku lain seperti Minnebrieven (surat-surat cinta); Wouterje Pieterse ( sejarah masa kecil) dan Ideen.

Dalam Ideen, Multatuli bersuara keras: melawan kesewenang-wenangan; pembelaan terhadap kaum teraniaya; kritik keras terhadap kekuasaan agama, adat dan politik, yang sering kali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Dekker membela buruh industri, mempertanyakan dogma agama yang disetir, emansipasi kaum wanita dan adat kesopanan yang dibungkus dengan keindahan tapi busuk didalamnya. Bagi Multatuli, martabat manusia harus sama, “ panggilan manusia ialah mewujudkan sebagai manusia”.

Dia tidak akrab dengan keluarganya, sampai istrinya Tine wafat tahun 1874, kemudian dia menikah lagi dan tinggal di Nieder-Ingelheim, Jerman dan wafat disana 18 Februari 1887.

Orang ini banyak menggunakan keuangan pemerintahan kolonial di Natal dan Padang untuk membantu bumiputera. Menyumbang dana juga dari kantung pribadi untuk kemajuan pendidikan di madrasah dan pesantren. Dekker banyak membantu perselisihan dan persengketaan antar pribumi dengan sesama pribumi, pedagang/saudagar bangsa lain dan pemerintah kolonial. Tentu saja pucuk pimpinan sangat berang dengan cara yang dilakukan oleh Multatuli. Keterpihakannya kepada bumiputera menjadi bumerang yang menghancurkan karir gemilangnya di pemerintahan kolonial Belanda.

Sedikit tidaknya jasa Multatuli, beberapa pihak dimasa silam yang tersamar, menganggap kegemilangan idenya, membantu menjadikan ranah Minangkabau dan Mandailing, pemasok tokoh-tokoh perintis dan penggerak berkaliber hebat, yang kelak sangat menentukan nasib Hindia Belanda. Bisa disebutkan nama-nama seperti: Kyai Hai Ahmad Dahlan, Agus Salim dll yang diteruskan generasi Datoek Tan Malaka dsb kemudian lahir lagi angkatan Moehammad Hatta, Soetan Syahrir, Moehammad Yamin, Mr. Moh. Roem, Syarifoeddin Prawiranegara, Soetan Takdir Alisjhabana, HB Yassin dll. Mereka ini adalah 'buah' dari 'biji' yang ditabur oleh Multatuli. Ini merupakan benang merah yang selalu dicoba dihilangkan dan dilupakan. Mungkin karena Mutatuli bukan orang Indonesia asli, bukan Muslim dan mewakili kaum penjajah.

Sistem kerja tanam paksa (Culturstelsel) yang kala itu diberlakukan, terang-terangan dibencinya. Sistem tanam paksa adalah pemerasan yang terkeji dari penjajah kepada bumiputera dengan memaksakan tiap orang untuk menanamkan beberapa jenis tanaman komoditas, yang kala itu sangat tinggi sekali harganya di pasar dunia. Komoditas ini antara lain: kopi, teh, cengkeh, pala, tembakau, kakao dsb. Setiap pribumi Hindia Belanda diwajibkan untuk menyediakan sebagian lahannya menanam komoditas tersebut atau menjadi buruh kerja di lahan yang disediakan oleh kolonial. Setelah itu, bumiputera baru dipersilahkan mengurusi perut sendiri. Sistem ini dianggap penghisapan yang paling keji, dan sangat tidak ber-perikemanusian dari bangsa yang merasa paling beradab dan mengaku mengikuti cinta-kasih Kristus.

Melalui bukunya Max Havelaar, Multatuli membongkar perilaku busuk penjajah Belanda di muka umum. Bola liar yang dilemparkan Multatuli melalui Max Havelaar, kelak merubah cara pandang penjajah Belanda pada khususnya dan dunia pada umumnya terhadap bumiputera. Pemerintah kerajaan Belanda sangat tertampar dengan perang pena ini. Bumiputera tidak lagi dianggap sebagai kasta yang lebih rendah dari binatang di negerinya sendiri. Efek dari bola liar yang dilempar oleh Multatuli juga dirasakan oleh negara-negara lain yang terjajah, seperti di Asia dan Afrika. Di Afrika Selatan lahir kaum de Boer.

Kelak lahirlah suatu aksi balas budi yang dicetuskan di Belanda, kelak dinamakan Politik Etis. Kaum bumiputera diberikan kesempatan, walau awalnya dari kaum menak dan berduit, untuk merasakan pendidikan. Tapi bangsa Indonesia patut berterima kasih kepada Multatuli atas jasanya ini. Karena dengan dibukanya keran itu, lahirlah kelak tokoh-tokoh hebat yang menjadi pelopor; Setelah dibukanya sekolah dokter STOVIA, antara lain: Dr. Wahidin Soediro Hoesodo, dr. Goenawan, R.A Kartini, R.M. Tirto Adhi Soeryo, Cipto Mangoenkoesoemo, H.O.S. Cokroaminoto, Haji Samanhoedi, Ki Hajar Dewantoro, Dewi Sartika, Iwa Koeseoma Soemantri dll. Dari pelopor ini lahir lagi tokoh-tokoh lainnya yang tak kalah dahsyatnya seperti : Ir. Soekarno, Sartono, Siti Soendari R.D, Mr Soepomo dll.

Diseluruh kota-kota di pulau Jawa atau Sumatera dan pulau-pulau lainnya, jarang sekali kita temukan nama jalan yang diambil dari nama besarnya. Bahkan nama gedung atau tempat prestisius bangsa Indonesia tidak ada yang memakai nama Multatuli, jasanya terkesan dilupakan dan hilang perlahan. Di Bandung ada nama jalan dr. Sethiaboedi, nama yang diambil dari putranya Multatuli. Nama yang digunakan putranya sebagai nama baptis baru setelah memilih jadi bumiputera. Selayaknya, namanya diletakkan disuatu tempat terhormat, untuk mengenang nama Multaltuli, agar generasi yang akan datang tahu, bahwa sebenarnya Indonesia adalah bangsa yang tahu cara berterima kasih, walau telah terlambat. Edward Douwes Dekker Sr, alias Multatuli wajar mendapat bintang jasa dari pemerintah Indonesia, walau dia 'orang asing', tapi dalam darah, hati dan tulangnya...ada Indonesia, semoga...Amien!

Wednesday, July 18, 2007

SeLaMaT HaRi aNaK!


UnfORgOtten fRoM Mind

KaLau aku JeLaJaHi Hatiku dan ingat Yang LaLu

Kadang aku Suka cengeng, menangiS? SuSaH

Tak biSa diucaPkan dengan kata

KaRna Semua teLaH Lewat, SungguH Rindu, SePi


KaLau teRingat Sobat-Sobat keciL duLu

Teman-teman SRPeRmainan daLam canda tawa

Ketika cinta dan cita maSiH bak udaRa

Teman beRmain beRSama ketika keciL


Kini aku JauH di tanaH Rantau

TanaH keLaHiRan-Pun teLaH Lama kutinggaLkan

Namun Hati tak biSa meLuPakan daRi benak

AtaS Semua kenangan teRindaH SemaSa keciL


OH...angin SaHabat, toLong SamPaikan PeSan

Ke Semua SaHabat ciLik-ku : dimana kaLian SekaRang?

Tidak mungkin, Jika maSiH biSa SePeRti duLu

Semoga TUHAN meLindungi kita Semua...amien!